Senin, 08 Oktober 2012


BAB II
PEMBAHASAN

1.1               Pengertian Semantik

Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris. Para ahli bahasa memberikan pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna). Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama adalah semiotika, semiologi, semasiologi, dan semetik. Pembicaraan tentang makna kata pun menjadi objek semantik. Itu sebabnya Lehrer (1974:1) mengatakan bahwa semantik adalah studi tentang makna (lihat juga Lyons 1, 1977:1), bagi Lehrer semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat, dan antropologi. Pendapat yang berbunyi “semantic adalah studi tentang makna” dikemukakan pula oleh Kambartel (dalam Bauerle, 1979:195). Menurutnya semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Sedangkan Verhaar (1983:124) mengatakan bahwa semantik berarti teori makna atau teori arti. Batasan yang hampir sama ditemukan pula dalam Ensiklopedia Britanika (Encyclopaedia Britanica, Vol. 20, 1965:313) yang terjemahannya “Semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistic dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.” Soal makna menjadi urusan semantik. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna. Dengan kata lain semantik berobjekkan makna.

1.1.1           Jenis Makna

Menurut Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya.

A.   Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994). Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal ’tidak sengaja’.

B.      Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ’meja’. Sebaliknya katakarena tidak mempunyai referen, jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

C.      Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer, 1994). Umpama kataperempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang konotasinya positif.

D.      Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari contoh berikut
(1) Tangannya luka kena pecahan kaca.
(2) Lengannya luka kena pecahan kaca.
Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna yang berbeda.Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan; sedangkan lenganadalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.

E.       Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, katamelati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.

F.       Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja hijau dengan makna ’pengadilan’.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti anjing dengan kucingyang bermakna ’dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.

G.     Makna Kias
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malamdalam arti ’bulan’, raja siang dalam arti ’matahari’.

1.2                Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa disini dapat berupa kata frase maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna. Pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna atau juga kelebihan makna. Relasi makna biasanya dibicarakan masalah-masalah yang disebut sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan redundansi.
Sinonim
Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satu satuan ujaran lainnya. Misalnya antara kata betul dengan kata benar. Contoh dalam bahasa Inggris antara kata freedom dan liberty.
Relasi sinonimi bersifat dua arah, maksudnya kalau satu ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B dan sebaliknya. Secara konkret kalau kata betul bersinonim dengan kata benar, kata benar bersinonim dengan kata betul.
Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. kesamaan itu terjadi karena berbagai faktor.
Faktor waktu
Faktor tempat atau wilayah
Faktor keformalan
Faktor sosial
Faltor bidang kegiatan
Faktor nuansa makna
Antonim
Antonim adalah hubungan semantikatau antonimi antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baik, kata mati berantonim dengan kata hidup. Sifat antonim dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:
Antonim yang bersifat mutlak. Umpamanya kata hidup berantonim dengan kata mati, sebab segala sesuatu yang masih hidup tentu belum mati, dan sesuatu yang sudah mati tentu sudah tidak hidup lagi.
Antonim yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya kata besar dan kecil berantonimi secara relatif. Jenis antonim ini disebut bersifat relatif, karena batas antara satu dengan lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas. Batasnya itu dapat bergerak menjadi lebih atau kurang. Karena itu, sesuatu yang tidak besar belum tentu kecil, dan sesuatu yagng tidak dekat belum tentu jauh. Karena itu pula kita dapat mengatakan misalnya lebih dekat, sangat dekat, atau juga paling dekat.
Antonim yang bersifat hierarkial. Umpama kata tamtama dan bintara berantonim secara hierarkial. Antonimi jenis ini disebut bersifat hierarkial karena kedua satuan ujaran yang berantonim itu berada dalam satu garis jenjang atau hierarki.
Polisemi
Dalam kasus ini biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus) adalah makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya atau makna konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkanberdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu.
Homonimi
Homonimi adalah 2 buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Umpamanya, antara kata pacar yang bermakna “inai” dan kata pacar dan yang bermakna “kekasih”.Jadi kalau pacar yang bermakna “inai”berhomonim dengan kata pacar yang bermakna “kekasih”.Maka,pacar yang bermakna “kekasih” berhomonim dengan kata yang bermakna “inai”
Homofoni
Adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran tanpa memperhatikan ejaan.
Homografi
Mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya tetapi ucapan dan maknanya tidak sama.
Hiponimi
Adalah hubungan sematik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain.
Misalnya:kata merpati mencakup dalam kata burung jadi merpati adalah hiponim dari burung dan burung berhipernim dengan merpati.
Ambiguiti dan ketaksaan
Adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tefsiran gramatikal yang berbeda.
Contoh:buku sejarah baru
Dapat ditafsirkan:1 buku sejarah itu baru terbit.
2 buku itu memuat sejarah zaman baru.
Redundansi
Istilah redudansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihan penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.
Misal:kalimat bola itu ditendang oleh dika tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan bola itu ditendang Dika.Jadi tanpa penggunaan preposisi”oleh”.Penggunaan kata “oleh”inilah yang dianggap redudansi,berlebih-lebihan.

A.      Pembeda Makna dan Hubungan antarkomponen Makna
Untuk dapat menganalisi komponen makna seseorang perlu mengetahui hubungan-hubunganmakna yang ada di dalam kata-kata. Misalnya kata
melompat dan melompat-lompat 
 mempunyai hubungan makna dan perbedaan makna, sehingga diperlukan komponen pembeda. Lain halnya jika kata
melompat 
dibandingkan dengan kata
melihat,
terdapatkenyataan bahwa kedua kata itu tidak memperlihatkan hubungan makna. Komponen pembeda makna akan jelas apabila diketahui komponen makna. Komponen maknadiperlukan untuk mengetahui seberapa jauh kedekatan
kemiripan, kesamaan, danketidaksamaan suatu makna kata.
Berdasarkan hal tersebut di atas pembeda makna akan terjadi karena beberapa hal berikut ini.(1) Perbedaan bentuk akan melahirkan perbedaan makna; dan(2) Perubahan bentuk akan melahirkan hubungan makna.
B.      Langkah Analisi Komponen Makna
 Menganalisis komponen makna memerlukan langkah-langkah tertentu. Nida (dalamSudaryat ,2009:57) menyebutkan enam langkah untuk menganalisis komponen makna
1)       Menyeleksi sementara makna yang muncul dari sejumlah komponen yang umum dengan pengertian makna yang dipilih masih berada di dalam makna tersebut. Misalnya  dalam kriteria marah terdapat leksem (mendongkol, menggerutu, mencaci maki, dan mengoceh).
2)        Mendaftar semua ciri spesifik yang dimiliki oleh rujukannya. Misalnya untuk kata ayah terdapat cirri spesifik antara: [+insan] [+jantan], [+kawin], dan  [+anak].
3)      Menentukan komponen yang dapat digunakan untuk kata yang lain. Misalnya ciriµkelamin perempuan,  dapat digunakan untuk kata ibu, kakak perempuan, adik perempuan,bibi dan nenek.
4)      Menentukan komponen diagnostik yang dapat digunakan untuk setiap kata. Misalnyauntuk kata ayah terdapat komponen diagnostik  jantan satu turunan di atas ego.
5)      Mengecek data yang dilakukan pada langkah pertama.
6)      Mendeskripsikan komponen diagnostiknya misalnya dalam bentuk matriks.

C.      Hambatan Analisis Komponen Makna
 Dalam menganalisis komponen makna terdapat beberapa kesulitan atau hambatan   
 sebagai berikut (Pateda, 2001:274)
1)      Lambang yang didengar atau dibaca tidak diikuti dengan unsur-unsur suprasegmental dan juga unsur-unsur ekstra linguistik.
2)      Tiap kata atau leksem berbeda pengertiannya untuk setiap disiplin ilmu. Kata seperti inidisebut istilah. Misalnya istilah kompetensi ada pada bidang linguistik, psikologi, dan pendidikan. Meskipun istilah itu memiliki medan yang sama, tetapi pasti ada perbedaansesuai dengan disiplin ilmu tersebut.
3)      Tiap kata atau leksem memiliki pemakaian yang berbeda-beda.
4)      Leksem yang bersifat abstrak sulit untuk di deskripsikan. Misalnya: liberal, sistem.
5)      Leksem yang bersifat dieksis dan fungsional sulit untuk dideskripsikan. Misalnya:
ini, itu,dan, di.
6)      leksem-leksem yang bersifat umum sulit untuk dideskripsikan. Misalnya:
binatang,burung, ikan, manusia.
Abdul Chaer (2009:118) menambahkan bahwa dari pengamatan terhadap data unsur-unsur leksikal ada tiga hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan analisis komponen makna.1). Ada pasangan kata yang salah satu daripadanya lebih bersifat netral atau umum sedangkanyang lain lebih bersifat khusus. Misalnya pasangan kata
Mahasiswa dan mahasiswi.
Kata
mahasiswa
lebih bersifat umum dan netral karena dapat termasuk pria dan wanita sedangkankata
mahasiswi
lebih bersifat khusus karena hanya mengenai wanita. Unsur leksikal yang bersifat umum seperti kata tersebut dikenal sebagai amggota yang tidak bertanda dari pasangan itu. Dalam diagram anggota yang tidak bertanda ini diberi tanda 0 atau ±.2). Ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena memang mungkintidak ada, tetapi ada juga yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Contoh yang sukar dicari pasangannya antara lain kata-kata yang berkenaan dengan warna.3) Seringkali kita sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang lebih bersifat umum dan mana yang lebih bersifat khusus. Umpamanya ciri [jantan] dan [dewasa]mana yang lebih bersifat umum. Keduanya dapat ditempatkan sebagai unsur yang lebih tinggidalam diagram yang berlainan. Ciri-ciri semantik ini dikenal sebagai ciri-ciri penggolongansilang.


1.3          Hubungan Antara Butir-butir leksikal dan Komponen
Makna adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki.
Ujaran manusia itu mengandung makna yang utuh. Keutuhan makna itu merupakan perpaduan dari empat aspek, yakni pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan amanat(intension). Memahami aspek itu dalam seluruh konteks adalah bagian dari usaha untuk memahami makna dalam komunikasi.

1.3.1          jenis Makna

  1. Makna Leksikal
Makna lekiskal adalah makna unsur-unsur bahasa(leksem) sebagai lambang benda, peristiwa, obyek, dan lain-lain. Makna ini dimiliki unsur bahasa lepas dari penggunaan atau konteksnya. Misalnya:
kata tikus bermakna "binatang pengerat yang bisa menyebabkan penyakit tifus". Makna ini akan jelas dalam kalimat berikut.
Kucing makan tikus mati.
Tikus itu mati diterkam kucing.
Panen kali ini gagal akibat serangan tikus
Jika kata tikus pada ketiga kalimat di atas bermakna langsung (konseptual), maka pada kalimat berikut bermaknakiasan (asosiatif ).
Yang menjadi tikus di kantor kami ternyata orang dalam.
  1. Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna struktural yang munculsebagai akibat hubungan antara unsur-unsur gramatikal dalamsatuan gramatikal yang lebih besar. Misalnya, hubungan morfemdan morfem dalam kata, kata dan kata lain dalam frasa atauklausa, frasa dan frasa dalam klausa atau kalimat.
 Makna gramatikal merupakan makna yang timbul karena peristiwa gramatikal. Makna gramatikal itu dikenali dalam kaitannya dengan unsur yang lain dalam satuan gramatikal. Jika satuan yang lain itu merupakan konteks, makna gramatikal itu disebut juga makna kontekstual. Dalam konteks itu, kata amplop, misalnya, tidak lagi bermakna “sampul surat”, tetapi dapat berarti uang suap. Makna gramatikal tidak hanya berlaku bagi kata atau unsur leksikal, tetapi juga morfem. Makna gramatikal juga dapat berupa hubungan semantis antar unsur.

1.4          Makna dan Maksud dan informasi
1.4.1      Pengertian Makna
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure ( dalam Abdul Chaer, 1994:286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3. hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya,dan
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
Bloomfied (dalam Abdul Wahab, 1995:40) mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998:50) mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahsa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat saling dimengerti.
Dari pengertian para ahli bahsa di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.
1.4.2      Aspek-aspek Makna
Aspek-aspek makna dalam semantik menurut Mansoer Pateda ada empat hal, yaitu :
1. Pengertian (sense)
Pengertian disebut juga dengan tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara dengan lawan bicaranya atau antara penulis dengan pembaca mempunyai kesamaan bahasa yang digunakan atau disepakati bersama. Lyons (dalam Mansoer Pateda, 2001:92) mengatakan bahwa pengertian adalah sistem hubungan-hubungan yang berbeda dengan kata lain di dalam kosakata.
2. Nilai rasa (feeling)
Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan.dengan kata lain, nilai rasa yang berkaitan dengan makna adalah kata0kata yang berhubungan dengan perasaan, baik yang berhubungan dengan dorongan maupun penilaian. Jadi, setiapkata mempunyai makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan perasaan.
3. Nada (tone)
Aspek makna nada menurut Shipley adalah sikap pembicara terhadap kawan bicara ( dalamMansoer Pateda, 2001:94). Aspek nada berhubungan pula dengan aspek makna yang bernilai rasa. Dengan kata lain, hubungan antara pembicara dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan.
4. Maksud (intention)
Aspek maksud menurut Shipley (dalam Mansoer Pateda, 2001: 95) merupakan maksud senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan. Maksud yang diinginkan dapat bersifat deklarasi, imperatif, narasi, pedagogis, persuasi, rekreasi atau politik.
Aspek-aspek makna tersenut tentunya mempunyai pengaruh terhadap jenis-jenis makna yang ada dalam semantik. Di bawah ini akan dijelaskan seperti apa keterkaitan aspek-aspek makna dalam semantik dengan jenis-jenis makna dalam semantik.
1.4.3      Pengertian Maksud
Maksud merupakan tujuan dari penyampaian sebuah informasi kepada pembaca atau pendengar. Atau tujuan dari suatu istilah atau kata
Contohnya : suatu sales regulator kompor selalu menawarkan produknya yang bagus dan terbaik, dan itu bermaksud untuk menarik minat pembeli.
1.4.4      Pengertian Informasi
Informasi adalah pesan (ucapan atau ekspresi) atau kumpulan pesan yang terdiri dari order sekuens dari simbol, atau makna yang dapat ditafsirkan dari pesan atau kumpulan pesan. Informasi dapat direkam atau ditransmisikan. Hal ini dapat dicatat sebagai tanda-tanda, atau sebagai sinyal berdasarkangelombang. Informasi adalah jenis acara yang mempengaruhi suatu negara dari sistem dinamis. Para konsep memiliki banyak arti lain dalam konteks yang berbeda. Informasi bisa di kattakan sebagai pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran, pengalaman, atau instruksi.  Namun demikian, istilah ini memiliki banyak arti bergantung pada konteksnya, dan secara umum berhubungan erat dengan konsep seperti artipengetahuannegentropyPersepsi,Stimuluskomunikasikebenaranrepresentasi, dan rangsangan mental.
Macam-macam informasi :
Informasi langsung
Informasi tidak langsung
1.4.5      Hakikat Makna Sebagai Objek Semantik
Semantik dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantiks, dari bahasa Yunani sema (nomina) ‘tanda’: atau dari verba samaino ‘menandai’, ‘berarti’. Istilah tersebut digunakan para pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaksis) dan semantik.
Kata semantik sepadan dengan kata semasiologi yang diturunkan dari kata bahasa Yunani semainein yang berarti ‘bermakna’ atau ‘berarti’. Semantik sebagai istilah di dalam ilmu bahasa mempunyai pengertian tertentu. Yang dimaksud istilah semantik iialah penelitian makna kata dalam bahasa tertentu menurut sistem penggolongan. Jadi, semantik adalah cabang lingustik yang bertugas semata-mata meneliti makna kata, bagaimanaasal mulanya, bagaimana perkembangannya, dan apa yang menyebabkan terjadi perubahan makna dalam sejarah atau bahasa.
Kridalaksana (1993: 193-194) dalam kamus linguistik memberikan pengertian semantik, (1) bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna atau wicara; (2) sistem dan penyelidikan makna arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.
Hubungan makna dengan kata-kata lain
                Dalam bahasa Indonesia dikenal adanya berb agai macam makna kata yang  berhubungan dengan kata-kata lainnya. Diantaranya adalah :
1.       Sinonim
Sinonim ialah dua kata atau lebih yang memiliki makna yang sama atau hampir sama.
Contoh:
a.       yang sama maknanya
sudah  -  telah
sebab  -  karena
amat    -  sangat
b.       yang hampir sama maknanya
untuk – bagi – buat – guna
cinta – kasih – sayang
melihat – mengerling – menatap – menengok
2.       Antonim
Antonim ialah kata-kata yang berlawanan maknanya/ oposisi.
Contoh:
besar      ><  kecil
ibu          ><  bapak
bertanya                >< menjawab
3.       Homonim
Homonim ialah dua kata atau lebih yang ejaannya sama, lafalnya sama, tetapi maknanya berbeda.
Contoh:
bisa I      : racun
bisa II     : dapat
kopi I      : minuman
kopi II     : salinan
4.       Homograf
Homograf adalah dua kata atau lebih yang tulisannya sama, ucapannya berbeda, dan maknanya berbeda.
Contoh:
tahu        :  makanan
tahu        :  paham
teras       :  inti kayu
teras       :  bagian rumah
5.       Homofon
Homofon ialah dua kata atau lebih yang tulisannya berbeda, ucapannya sama, dan maknanya berbeda.
Contoh:
bang dengan bank
masa dengan massa
6.       Polisemi
Polisemi ialah suatu kata yang memilki makna banyak.
Contoh:
a.       Didik jatuh dari sepeda.
b.       Harga tembakau jatuh.
c.        Peringatan HUT RI ke-55 jatuh hari Minggu.
d.       Setiba di rumah dia jatuh sakit.
e.       Dia jatuh dalam ujiannya.
7.       Hiponim
Hiponim ialah kata-kata yang tingkatnya ada di bawah kata yang menjadi superordinatnya/ hipernim (kelas atas).
Contoh:                  Kata bunga merupakan superordinat, sedangkan mawar, melati, anggrek, flamboyan, dan sebagainya merupakan hiponimnya. Hubungan mawar, melati, anggrek, dan flamboyan disebut kohiponim.
Gejala-gejala perubahan makna
a. Perluasan makna kata (generalisasi), terjadi apabila cakupan makna suatu kata lebih luas dari makna asalnya.
Contoh :
berlayar (makna asal) ® mengarungi lautan dengan kapal layar (sekarang) ® mengarungi lautan dengan berbagai.
b. Penyempitan makna kata (spesialisasi), terjadi apabila makna suatu kata lebih sempit cakupannya daripada makna asalnya.
Contoh :
Sarjana
(makna asal) ® sebutan untuk semua orang berilmu
(sekarang) ® orang-orang berpendidikan S-1
c. Amelioratif adalah perubahan makna kata yang nilai rasanya lebih tinggi daripada asalnya.
Contoh :
Wanita
(makna asal) ® nilainya rendah
(sekarang) ® lebih terhormat
d. Peyorasi adalah perubahan makna kata yang nilainya menjadi lebih rendah daripada makna sebelumnya.
Contoh :
Gerombolan
(makna asal) ® orang-orang yang berkelompok, bergerombol
(sekarang) ® orang-orang pengacau
e. Sinestesia, adalah perubahan makna akibat pertukaran anggapan antara dua indra yang berlainan.
Contoh :
Kata-katanga pedas
Pedas ® kata kasar (pendengaran)
(makna asal) ® indra pengecapan
f. Asosiasi adalah perubahan makna kata yang terjadi karena persamaan sifat.
Contoh :
Beri saja dia amplop, pasti segala urusanmu jadi gampang.
amplop
(makna asal) ® wadah untuk memberi uang
(sekarang) ® uang yang beramplop, suap
Kata umum dan kata khusus
Kata Umum
Kata umum adalah kata-kata yang pemakaiannya dan maknanya bersifat umum dan luas. Bidang dan obyek yang dicakup oleh kata umum itu luas dan tidak secara spesifik merujuk atau merepresentasikan bidang atau obyek tertentu. Jenis kata umum tidak memiliki pertalian yang erat dengan obyeknya. Sebagai akibatnya, kata umum kurang memberi daya imajinasi kepada audiens atau pembaca. Citra dalam pikiran audiens/ pembaca masih samar.
Contoh:
Ibu menanam pohon di halaman.
Andri memberikan bunga kepada Isti.
Pak Budi membeli 10 ekor ikan di pasar.
Kata “pohon” dan “bunga” dalam kalimat itu tidak serta merta membangkitkan citra pohon yang dimaksudkan oleh penutur. Bayangan dan pemahaman setiap pembaca mengenai kata “pohon” itu jadi samar dan beranekaragam tergantung dari pengalaman pihak pembaca terhadap jenis pohon yang pernah dijumpainya di halaman. Dampak ikutannya, kata umum “pohon” itu jadi kurang memiliki daya sugesti dan daya impresi. Pesan yang disampaikan penutur jadi kurang kuat dan impresi (kesan) yang ditinggalkan dalam hati dan pikiran rekan bicaranya juga jadi dangkal.
Dalam relasi makna, kata umum tergolong hipernim. Dari aspek ini, kata umum juga disebut superordinat.
Sifat keumuman kata umum ini berguna dalam abstraksi, generalisasi, dan kategorisasi, sehingga kata ini sering digunakan dalam karya tulis eksposisi. Penggunaan kata umum dalam karya tulis deskripsi atau narasi lebih dibatasi, mengingat kata umum kurang memberi daya imajinasi,sugesti, dan impresi kepada pembaca.
Kata Khusus
Kata Khusus adalah kata-kata yang pemakaiannya dan maknanya bersifat spesifik dan sempit dan yang merujuk kepada pengertian kongkret dan tertentu. Bidang, ruang lingkup, dan obyek yang dicakup oleh kata khusus itu sempit dan dia secara spesifik merujuk atau merepresentasikan bidang, ruang lingkup, atau obyek yang sempit, di samping juga hanya meliputi aspek tertentu saja.
Jenis kata khusus memiliki pertalian yang erat dengan obyeknya. Sebagai akibatnya, kata khusus memberi daya imajinasi kepada audiens atau pembaca. Citra dalam pikiran audiens/ pembaca tidak samar.
Komunikator lebih tepat menggunakan kata khusus bila ingin memperoleh pengertian yang lebih pas dengan apa yang dia maksudkan.
Contoh:
No Kata Umum Kata Khusus
1 Ibu menanam pohon di halaman. Ibu menanam pohon Mangga di halaman.
2 Andri memberikan bunga kepada Isti. Andri memberikan Melati kepada Isti.
3 Pak Budi membeli 10 ikan di pasar. Pak Budi membeli 5 ekor Gurame, 3 ekor Mujaher, dan 2 ekor Nila di pasar.
Sebagaimana nampak dalam contoh tersebut, kata khusus memiliki daya sugesti dan daya impresi yang lebih kuat dan lebih dalam daripada kata umum. Selain itu, informasi yang disampaikan kepada pembaca juga jelas dan merujuk pada obyek/ subyek tertentu. Begitu mendengar atau membaca “pohon Mangga” atau “Melati”, maka seketika muncul citra obyek yang direpresentasikan oleh kedua kata itu.
Dalam relasi makna, kata khusus tergolong hiponim.Dari aspek ini, kata umum juga disebut subordinat.
Sifat kekhususan kata khusus ini sangat bermanfaat dalam karya tulis narasi, deskripsi, dan argumentasi yang memang membutuhkan deskripsi obyek. Karya-karya Sastra dan kitab-kitab suci juga mengeksploitasi kata khusus, misalkan saja untuk simbolisasi dan untuk memperkuat impresi dan pesan yang disampaikan dan memperdalam penghayatan.
Hubungan antara kata umum kata khusus itu bersifat relatif. Maksudnya, suatu kata tertentu bisa merupakan kata khusus dari kata lain yang lebih umum; dan kata yang lebih umum itu bisa menjadi kata khusus untuk kata lainnya lagi. Relativitas kata umum dan kata khusus ini menciptakan gradasi kata.
Contoh, “Honda” adalah kata khusus relatif terhadap kata umum “sepeda motor”. “Sepeda motor” adalah kata khusus relatif terhadap kata umum “kendaraan”. Demikian seterusnya. Untuk contoh lebih lengkap mengenai relativitas kata umum dan kata khusus, lihat pada tabel di bawah ini.
1.6          Sinonim, Antonim, Homonim, Hiponim, Redundasi
Relasi makna adalah hubungan semantikyang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya.
A.    Sinonim
Sinonim atau sinomini adalah hubungan semantic yang menyatakan adanya kesamaan makna antarasatu satuan ujaran engan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar ;dan antara kalimat Dika menendang bola dengan Bola ditendang Dika.
Relasi sinonimi bersifat dua arah,maksudnya kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan ujaran B,maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan ujaran A. dua buah kata bersinonim maknanya tidak akan sama. Ketidaksamaan itu terjadi karena berbagai factor, antara lain ;
Pertama, factor waktu. Umpama kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan . namun kata hulubalang memiliki pengertian klasik sedangkan kata komandan tidak memililki pengertian klasik.
Kedua, factor tempat atau wilayah. Misalny kata saya dan beta,kata saya bias digunakan dimana saja, sedangkan kata beta hanya cocok digunakan diwilayah Indonesia bagian timur.
Ketiga, factor keformalan. Misalnya kata uang dan duit,kata uang dapat digunakan dalam ragam formal dan tak formal,sedangkan duit hanya cocok untuk ragam tak formal.
Keempat , factor social. Umpamanya, kata saya dan aku,kata saya dapat digunakan siapa saja dan kepada siapa saja; sedangkan kata akuhanya dapat digunakan terhadap orang yang sebaya,atau yang lebih muda.
Kelima , bidang kegiatan. Umpamanya kata matahari dan surya. Kata matahari bias digunakan dalam kegiatan apa saja. Sedangkan katasurya hanya cocok pada ragam khusus,terutama sastra.
Keenam, factor nuansa makna. Umpamanya kata melihat,melirik,menonton,meninjau,dan mengintip merupakan kata bersinonim.namun antara satu dengan yang lain tidak bias dipertukarkan Karena memiliki nuansa makna yang berbeda.
Dari factor-faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa dua buah kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan atau disubstitusikan.
B.     Antonim
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantic antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baikMenjual berantonim dengan membeli. Dilihat dari sifat hubungannya, maka antomini dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain;
Pertama, antonimi yang bersifat mutlak. Umpamanya kata hidup berantonim mutlak dengan kata mati. Karena sesuatu yang hidup tentunya belum mati,dan sesuatu yang mati tentunya sudah tidak hidup lagi.
Kedua, antonimi yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya kata besar dan kecil, jauh dan dekat, berantonim secara relatif,karena batasantara satu dengan lainnyatidak dapat ditentukan secara jelas;batasnya tidak dapat bergerak menjadi lebih atau menjadi berkurang. Karena itu sesuatu yang tidak besar belum tentu kecil dan sesuatu yang tidak dekat belum tentu jauh.
Ketiga, bersifat relasional. Umpamanya antara kata membeli dan menjual, antara kata suami dan istri.disebut relasional karena munculnya yang satu harus disertai dengan yang lain.
Keempat, bersifat hieralkial. Umpamanya, kata gram dan kilogram. Bersifat hieralkial karena kedua satuan ujaran yang berantonim itu berada dalam satu garis jenjangatau hierarki. Klata gram dan kilogram berada dalam satu jenjang ukuran timbangan.

C.     Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalu kata itu mempunyai kata lebih dari satu. Umpamanya kata kepala yang setidaknya mempunyai makna (1) bagian tubuh manusia,(2) ketua atau pimpinan,(3) sesuatu yang berada di sebelah atas (kepala surat).
Dalam polisemi ini,makna pertama dalam kamus adalah makna sebenarnya,makna leksikalnya,makna denotatifnya,atau makna konseptualnya. Yang lain adalah makna yang dikembangkan.
D.    Homonimi
Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; maknanya berbeda karena masing-masing merupakan bentuk ujaran yang berlainan. Umpamanya, antara kata pacar bermakna ‘inai’ dan kata pacar yang bermakna ‘kekasih’,antara kata bisa yang berarti ‘racun ‘ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup’.
Pada kasus homonimi ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan yaitu homofoni dan homografiHomofoni adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran,tanpa memperhatikan ejaannya,apakah ejaannya sama atau berbeda. Misalnya kata bias yang berarti ‘racun’ danbias yang berarti ‘sanggup’.
Istilah homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya,tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Misalnya,memerah yang berarti ‘melakukan perah’ dan memerah yang berarti ‘menjadi merah’.
Perbedaan antara homonimi dan polisemi. Bahwa homonimi adalah dua buah bentuk ujaran atau lebih yang ‘kebetulan’ yang bentuknya sama dan maknanya berbeda. Sedangkan polisemi adalah sebuh bentuk ujaran yang memiliki makna lebih dari satu. Makna-makna yang ada dalam polisemi, meskipun berbeda tetapi dapat dilacak secara etimologi dan semantic, baha makna tersebut masih mempunyai hubungan. Contohnya, hubungan antara makna kepala dengan kepala surat dapat ditelusuri berasal dari makna leksikal kata kepala itu. Tetapi kita tidak bias melacak hubungan antara bisa ‘racun’ dengan bisa ‘sanggup’.
E.     Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantic antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalammakna bentuk ujaran yang lain. Umpamanya, antara kata merpati dan burung. Makna merpati tercakup dalam makna kata burung. Kita dapat mengatakan bahwa merpatiadalah burung,tetapi burung bukan hanya merpati. Relasi hiponimi bersifat searah,bukan dua arah.
F.     Redundasi
Redundasi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsure segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umpamanya kalimatbola itu ditendang oleh Dika tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan Bola itu ditendang Dika. Jadi tanpa menggunakan preposisi oleh.Penggunaan preposisi oleh ini yang disebut terlalu berlebihan.


1.7          Kebenaran makna kata dan Kebenaran wajib
1.7.1      Pengertian Kebenaran

Kebenaran adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Pernyatan ini pasti, dan tidak dapat dipungkiri lagi. Kita manusia selalu ingin tahu kebenaran, karena hanya kebenaranlah yang bisa memuaskan rasa ingin tahu kita, dengan kata lain  tujuan pengetahuan ialah mengetahui kebenaran. Tujuan ilmu juga mencapai kebenaran, dengan kata lain, dalam ilmu kita manusia  ingin memperoleh pengetahuann yang benar, karena ilmu merupakan pengetahuan yang sistematis, maka pengetahuan yang diituju ilmu adalah pengetahuan ilmiah.
Kita manusia bukan hanya sekedar ingin tahu, tetapi ingin mengetahu kebenaran. Kita juga selalu ingin memiliki pengetahuan yang benar. Kebenaran ialah persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan obyeknya.

  1. JENIS-JENIS KEBENARAN

1.    Kebenaran Individual
Kebenaran Individual ini merupakan kebenaran yang di ikuti manusia berdasarkanpendapat sendiri.

2.    Kebenaran Objektif
 Kebenaran Objektif merupakan kebenaran yang biasanya bersumber dari ajaranleluhur  yang  diwariskan secara turun temurun dan sudah mendarah daging dalam masyarakat.

3.      Kebenaran Hakiki
       Kebenaran yang sifatnya mutlak, pasti dan tidak akan pernah mengalami perubahan,tentunya kebenaran ini bukan dari manusia, tetapi kebanaran ini datangnya dari Sang Pencipta, sebab itu jangan sekali-kali kita meragukannya.
1.       Teori kebenaran Korespondensasi
Kebenaran Koresponden: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contohnya, Jurusan teknik elektro, teknik mesin, dan teknik sipil Undip ada di Tembalang. Jadi Fakultas Teknik Undip ada di Tembalang.
Ujian kebenaran yang dinamakan teori koresponden, adalah yang paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif atau fidelity to objective reality.
Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan. Kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuat.
2.       Teori kebenaran Koherensi
Kebenaran Koheren: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koheren menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus. Contohnya, seluruh mahasiswa UNDIP harus mengikuti kegiatan Ospek. Luri adalah mahasiswa UNDIP, jadi harus mengikuti kegiatan Ospek.[9]
Teori ini menyatakan bahwa bahwa sesuatu yang dinyatakan akan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren bahkan konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Hal ini dengan tegas dinyatakan oleh Suriasumantri (2000:59) bahwa teori koherensi adalah terori yang berlandaskan pada logika deduktif yang menyatakan bahwa suatu pernyataan yang dinyatakan benar jika bersifat koheren dan konsisten. Contoh terdapat pernyataan bahwa “setiap manusia akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar. Pernyataan yang sering diungkapkan kesimpulan silogisme berikut ini dapat menjadi contoh yang lain, yaitu:
Premis Mayor: Setiap manusia akan mati
Premis Minor: Marjono seorang manusia.
Entimennya: Marjono akan mati karena dia seorang manusia.
3.       Teori Kebenaran Sintaksis
Teori ini berkembang di antara filsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seprti Freiderich Schleiemacher. [11] Para penganut teori ini berpangkal pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekat. Demikian suatu pernyataan bernilai benar apabila pernyataan tersebut mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Dengan kata lain apabila sebuah proposisi keluar dari yang disyaratkan maka proposisi tersebut tidak mempunyai arti.
Kebenaran dalam perspektif ini memerlukan sensitifitas kita untuk mengetahui bentuk-bentuk gramatikal dari suatu bahasa. Karena gramatikal inilah yang akan digunakan untuk melakukan penilaian kebenaran sebuah pernyataan.
4.       Teori kebenaran Simantis
Teori ini dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bentrand Rusdell sebagai tokoh pemula dari filsafat analitika bahasa. 
. Menurut teori ini, kebenaran semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Arti ini dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya dengan menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga arti yang dikemukakan itu memiliki arti yang bersifat definitif.
Di dalam teori ini ada sikap yang mengakibatkan diterimanya sebuah proposisi sebagai arti yang esoterik, arbiter, atau hanya mempunyai arti jika dihubungkan dengan nilai praktis. Sikap-sikap itu antara lain sikap epistemologis skeptik, sikapepistemologic dan ideologic, sikap epistemologic pragmatik.
5.       Teori kebenaran Non-deskripsi
Teori kebenaran non deskripsi ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.
Karena pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi pernyataan itu. White (1978) mengambarkan tentang kebenaran sebagaimana dikemukakannya:
“… to say. It is true that not many people are likely to do that” is a way of agreeing with the opinion that not many people are likely to do that and not a way of talking about the opinion, much less of talking about the sentence used to express the opinion”.
Menilik pernyataan di atas, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itulah White (1978) lebih lanjut menjelaskan: “The theory non-descriptive gives us an important insight into function of the use of “true” and “false”, but not an analysis of their meaning”.
6.       Teori kebenaran Logik yang berlebihan
Teori Kebenaran Logik yang berlebihan (Logical-Superfluity Theory of Truth).Teori ini dikembangkan oleh kaum Positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa –pernyataan– yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat logik dengan menunjukkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1984). Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu, sehingga berupa garis yang bulat.

  1. Sifat-sifat kebenaran ilmiah
Kebenaran tidak dapat lepas dari kualitas, hubungan dan nilai itu sendiri, maka setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda satu dengan yang lainnya, dan disitu terdapat sifat dari kebenaran.Sifat kebenaran dapat dibedakan menjadi tiga hal , yaitu :
a.       Kebenaran dari kualitas pengetahuan, pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pernyataan itu.Kebenaran berkaitan dengan pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang dimiliki ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun, pengetahuan itu berupa :
1.       Kebenaran biasa atau subyektif, Pengetahuan ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subyektif, artinya amat terikat pada subyek yang mengenai.
2.       Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau bersifat spesifik dengan menerapkan metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan para ahli sejenis.Kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang penemuan muthakir.
3.       Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran, bersifat mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran analisis, kritis dan spekulatif.Sifat kebenaran yang terkandung adalah absolute-intersubjektif.
4.       Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama.Pengetahuan agama bersifat dogmatis yang selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya.
5.       Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya.
Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan akan mengakibatkan karakterstik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu   untuk membuktikannya .Jadi jika membangun pengetahuan melalui indera atau sense experience, maka pembuktiannya harus melalui indera pula.
b.      Kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan
Membangun pengetahuan tergantung dari hubungan antara subjek dan objek, mana yang dominan.Jika subjek yang berperan , maka jenis pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif .Sebaliknya jika objek yang berperan, maka jenis pengetahuannya mengandung nilai kebenaran yang sifatnya objektif.
1.8          SINTAKSIS DAAN SEMANTIK
1.8.1      SINTAKSIS
Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti “dengan” dan kata tattein yang berarti “menempatkan”. Jadi, secara etimologi berarti: menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.
A.      STRUKTUR SINTAKSIS
Secara umum struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K) yang berkenaan dengan fungsi sintaksis. Nomina, verba, ajektifa, dan numeraliaberkenaan dengan kategori sintaksis. Sedangkan pelaku, penderita, dan penerima berkenaan dengan peran sintaksis.
Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan kata, bentuk kata, dan intonasi; bisa juga ditambah dengankonektor yang biasanya disebut konjungsi. Peran ketiga alat sintaksis itu tidak sama antara bahasa yang satu dengan yang lain.
B.      KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS
Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata berperan sebagai pengisi fungsi sintaksis, penanda kategori sintaksis, dan perangkai dalam penyatuan satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan sintaksis.
Kata sebagai pengisi satuan sintaksis, harus dibedakan adanya dua macam kata yaitu kata penuh dan kata tugas. Kata penuh adalah kata yang secara leksikal mempunyai makna, mempunyai kemungkinan untuk mengalami proses morfologi, merupakan kelas terbuka, dan dapat berdiri sendiri sebagai sebuah satuan. Yang termasuk kata penuh adalah kata-kata kategori nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan numeralia. Misalnya mesjidmemiliki makna ‘ tempat ibadah orang Islam ’. Sedangkan kata tugas adalah kata yang secara leksikal tidak mempunyai makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan kelas tertutup, dan di dalam peraturan dia tidak dapat berdiri sendiri. Yang termasuk kata tugas adalah kata-kata kategori preposisi dan konjungsi. Misalnya dan tidak mempunyai makna leksikal, tetapi mempunyai tugas sintaksis untuk menggabungkan menambah dua buah konstituen.
Kata-kata yang termasuk kata penuh mempunyai kebebasan yang mutlak, atau hampir mutlak sehingga dapat menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaksis. Sedangkan kata tugas mempunyai kebebasan yang terbatas, selalu terikat dengan kata yang ada di belakangnya (untuk preposisi), atau yang berada di depannya (untuk posposisi), dan dengan kata-kata yang dirangkaikannya (untuk konjungsi).
1.8.1.1   FRASE
A.      Pengertian Frase
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif (hubungan antara kedua unsur yang membentuk frase tidak berstruktur subjek - predikat atau predikat - objek), atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.
B.      Jenis Frase
v  Frase Eksosentrik
Frase eksosentrik adalah frase yang komponen-komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya.
Frase eksosentris biasanya dibedakan atas frase eksosentris yang direktif atau disebut frase preposisional ( komponen pertamanya berupa preposisi, seperti di, ke, dan dari, dan komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata, yang biasanya berkategori nomina) dan non direktif (komponen pertamanya berupa artikulus, seperti si dan sang sedangkan komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata berkategori nomina, ajektifa, atau verba).
v  Frase Endosentrik
Frase Endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan keseluruhannya. Artinya, salah satu komponennya dapat menggantikan kedudukan keseluruhannya. Frase ini disebut jugafrase modifikatif karena komponen keduanya, yaitu komponen yang bukan inti atau hulu (Inggris head) mengubah atau membatasi makna komponen inti atau hulunya itu. Selain itu disebut juga frase subordinatif karena salah satu komponennya, yaitu yang merupakan inti frase berlaku sebagai komponen atasan, sedangkan komponen lainnya, yaitu komponen yang membatasi, berlaku sebagai komponen bawahan.
Dilihat dari kategori intinya dibedakan adanya frase nominal(frase endosentrik yang intinya berupa nomina atau pronomina maka frase ini dapat menggantikan kedudukan kata nominal sebagai pengisi salah satu fungsi sintaksis), frase verbal (frase endosentrik yang intinya berupa kata verba, maka dapat menggantikan kedudukan kata verbal dalam sintaksis), frase ajektifa (frase edosentrik yang intinya berupa kata ajektiv), frase numeralia (frase endosentrik yang intinya berupa kata numeral).
v  Frase Koordinatif
Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan secara potensial dapat dihubungkan oleh konjungsi koordinatif. Frase koordinatif tidak menggunakan konjungsi secara eksplisit disebut frase parataksis.
v  Frase Apositif
Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua komponennya saling merujuk sesamanya, oleh karena itu urutan komponennya dapat dipertukarkan.
v  Perluasan Frase
Salah satu ciri frase adalah dapat diperluas. Artinya, frase dapat diberi tambahan komponen baru sesuai dengan konsep atau pengertian yang akan ditampilkan.
Dalam bahasa Indonesia perluasan frase tampak sangat produktif.Antara lain karena pertama, untuk menyatakan konsep-konsep khusus, atau sangat khusus, atau sangat khusus sekali, biasanya diterangkan secara leksikal. Faktor kedua, bahwa pengungkapan konsep kala, modalitas, aspek, jenis, jumlah, ingkar, dan pembatas tidak dinyatakan dengan afiks seperti dalam bahasa-bahasa fleksi, melainkan dinyatakan dengan unsur leksikal. Dan faktor lainnya adalah keperluan untuk memberi deskripsi secara terperinci dalam suatu konsep, terutama untuk konsep nomina.
1.8.1.2   KLAUSA
A.      Pengertian Klausa
Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frase, yang berungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan.
Klausa berpotensi untuk menjadi kalimat tunggal karena di dalamnya sudah ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek dan predikat. Frase dan kata juga mempunyai potensi untuk menjadi kalimat kalau kepadanya diberi intonasi final; tetapi hanya sebagai kalimat minor, bukan kalimat mayor; sedangkan klausa berpotensi menjadi kalimat mayor.
B.      Jenis Klausa
Berdasarkan strukturnya klausa dibedakan klausa bebas ( klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subjek dan predikat; dan mempunyai potensi menjadi kalimat mayor) dan klausa terikat (klausa yang unsurnya tidak lengkap, mungkin hanya subjek saja, objek saja, atau keterangan saja). Klausa terikat diawali dengan konjungsi subordinatif dikenal dengan klausa subordinatif atau klausa bawahan, sedangkan klausa lain yang hadir dalam kalimat majemuk disebut klausa atasan atauklausa utama.
Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat di bedakan: klausa verbal (klausa yang predikatnya berkategori verba). Sesuai dengan adanya tipe verba, dikenal adanya (1) klausa transitif (klausa yang predikatnya berupa verba transitif); (2) klausa intransitif (klausa yang predikatnya berupa verba intransitif); (3) klausa refleksif (klausa yang predikatnya berupa verba refleksif); (4) klausa resiprokal (klausa yang predikatnya berupa verba resiprokal. Klausa nominal (klausa yang predikatnya berupa nomina atau frase nominal). Klausa ajektifal(klausa yang predikatnya berkategori ajektifa, baik berupa kata maupun frase). Klausa adverbial (klausa yang predikatnya berupa frase yang berkategori preposisi). Klausa numeral (klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numeralia).
Perlu dicatat juga istilah klausa berpusat dan klausa tak berpusat. Klausa berpusat adalah klausa yang subjeknya terikat di dalam predikatnya, meskipun di tempat lain ada nomina atau frase nomina yang juga berlaku sebagai subjek.
1.8.1.3   KALIMAT
A.      Pengertian Kalimat
Dengan mengaitkan peran kalimat sebagai alat interaksi dan kelengkapan pesan atau isi yang akan disampaikan, kalimat didefinisikan sebagai “ Susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap ”. Sedangkan dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.
Sehingga disimpulkan, bahwa yang penting atau yang menjadi dasar kalimat adalah konstituen dasar dan intonasi final, sedangkan konjungsi hanya ada kalau diperlukan. Intonasi final yang ada yang memberi ciri kalimat ada tiga, yaitu intonasi deklaratif, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik; intonasi interogatif, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda tanya; dan intonasi seru, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda seru.
B.      Jenis Kalimat
v  Kalimat Inti dan Kalimat Non-Inti
Kalimat inti, biasa juga disebut kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afirmatif. Misalnya:
FN + FV + FN + FN : Nenek membacakan kakek komik
Ket : FN=Frase Nominal (diisi sebuah kata nominal); FV=Frase Verbal; FA=Frase Ajektifa; FNum=Frase Numeral; FP=Frase Preposisi.
Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat noninti dengan berbagai proses transformasi:
KALIMAT INTI + PROSES TRANSFORMASI = KALIMAT NONINTI
Ket : Proses Transformasi antara lain transformasi pemasifan, transformasi pengingkaran, transformasi penanyaan, transformasi pemerintahan, transformasi pengonversian, transformasi pelepasan, transformasi penambahan.
v  Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu klausa. Sedangkan kalimat majemuk adalah kalimat yang terdapat lebih dari satu klausa.
Berkenaan dengan sifat hubungan klausa-klausa dalam kalimat, dibedakan: (1) kalimat majemuk koordinatif/ kalimat majemuk setara yaitu kalimat majemuk yang klausa-klausanya memiliki status yang sama, yang setara, atau yang sederajat. Secara eksplisit dihubungkan dengan konjungsi koordinatif dan biasanya unsur yang sama disenyawakan atau dirapatkan sehingga disebut kalimat majemuk rapatan. (2) Kalimat majemuk subordinatif adalah kalimat majemuk yang hubungan antara klausa-klausanya tidak setara atau sederajat. Klausa yang satu merupakan klausa atasan dan yang lain disebut klausa bawahan. Kedua klausa itu dihubungkan dengan konjungsi subordinatif. Proses terbentuknya kalimat ini dapat dilihat dari dua sudut bertentangan. Pertama, dipandang sebagai hasil proses menggabungkan dua buah klausa atau lebih, dimana klausa yang satu dianggap sebagai klausa atasan dan yang lain disebut klausa bawahan. Pandangan kedua, konstruksi kalimat subordinatif dianggap sebagai hasil proses perluasan terhadap salah satu unsur klausanya. (3) Kalimat majemuk kompleks yaitu kalimat majemuk yang terdiri dari tiga klausa atau lebih, dimana ada yang dihubungkan secara koordinatif dan ada pula yang dihubungkan secara subordinatif. Jadi, kalimat ini merupakan campuran dari kalimat majemuk koordinatif dan subordinatif sehingga disebut juga kalimat majemuk campuran.
v  Kalimat Mayor dan Kalimat Minor
Kalimat mayor mempunyai klausa lengkap, sekurang-kurangnya ada unsur subjek dan predikat. Sedangkan kalimat minorklausanya tidak lengkap, entah hanya terdiri subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangan saja; konteksnya bisa berupa konteks kalimat, konteks situasi, atau juga topik pembicaraan.
v  Kalimat Verbal dan Kalimat non-Verbal
Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase berkategori verba. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan kata atau frase verbal; bisa nominal, ajektifal, adverbial, atau juga numeralia.
Berkenaan dengan banyaknya jenis atau tipe verbal, biasanya dibedakan: (1) kalimat transitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba transitif, yaitu verba yang biasanya diikuti oleh sebuah objek kalau verba tersebut bersifat monotrasitif, dan diikuti oleh dua buah objek kalau verba tersebut bersifat bitransitif. (2)kalimat intransitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba intransitif, yaitu verba yang tidak memiliki objek. (3) kalimat aktifadalah kalimat yang predikatnya kata kerja aktif. Verba aktif biasanya ditandai dengan prefiks me- atau memper- biasanya dipertentangkan degan kalimat pasif yang ditandai dengan prefiks di- atau diper- . Ada juga istilah kalimat aktif anti pasif dan kalimat pasif anti aktif sehubungan dengan adanya sejumlah verba aktif yang tidak dapat dipasifkan dan verba pasif yang tidak dapat dijadikan verba aktif (4) kalimat dinamis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara semantis menyatakan tindakan atau gerakan. (5) kalimat statis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara semantis tidak menyatakan tindakan atau kegiatan. (6) kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan verba.
v  Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat
Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap, atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran yang lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wacana tanpa bantuan konteks. Biasanya kalimat terikat menggunakan salah satu tanda ketergantungan, seperti penanda rangkaian, penunjukan, dan penanda anaforis.
Dari pembicaraan mengenai kalimat terikat, dapat disimpulkan bahwa sebuah kalimat tidak harus mempunyai struktur fungsi secara lengkap. Kelengkapan sebuah kalimat serta pemahamannya sangat tergantung pada konteks dan situasinya.
v  Intonasi Kalimat
Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah klausa, sebab bisa dikatakan: kalimat minus intonasi sama dengan klausa; atau kalau dibalik; klausa plus intonasi sama dengan kalimat. Jadi, kalau intonasi dari sebuah kalimat ditanggalkan maka sisanya yang tinggal adalah klausa.
Intonasi dapat diuraikan atas ciri-ciri yang berupa tekanan, tempo, dan nada. Tekanan adalah ciri-ciri suprasegmental yang menyertai bunyi ujaran. Tempo adalah waktu yang diperlukan untuk melafalkan suatu arus ujaran. Nada adalah suprasegmental yang diukur berdasarkan kenyaringan suatu segmen dalam suatu arus ujaran. Dalam bahasa Indonesia dikenal tiga macam nada, yang biasa dilambangkan dengan angka “1”, nada sedang dilambangkan dengan angka “2”, dan nada tinggi dilambangkan dengan angka“3”.
contoh: Bacálah buku itu !
2 – 32t / 2 11t #
Ket: n=naik; t=turun; tanda - di atas huruf=tekanan
Tekanan yang berbeda menyebabkan intonasinya juga berbeda; akibatnya keseluruhan kalimat itu pun akan berbeda.

1.8.2      SEMANTIK
A.      Semantik Bahasa Indonesia
            Berdasarkan pendapat para ahli, semantik pada dasarnya merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji terjadinya berbagai kemungkinan makna suatu kata dan pengembangannya seiring dengan terjadinya perubahan dalam masyarakat bahasa.
Aspek – aspek yang di bahas dalam bidang semantik bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.

v  Diksi

            Diksi ialah pilihan kata yang tepat untuk mengungkapkan gagasan sehingga memperoleh efek tertentu (KBBI, 1997 : 233). Diksi menyangkut kecermatan dan ketelitian memilih sejumlah kata yang relatif sinonim dalam konteks tertentu sehingga dapat memberikan kesan yang khusus, estetis, dan tepat.  Misalnya penggunaan kata mati, meninggal dunia, wafat, tewas, mangkat, pulang ke rahmatullah, mampus, tutup usia, tutup mata.
Kaitannya dengan diksi atau pilihan kata, perlu di pahami dengan baik tentang perbedaan antara :
a. kata baku dan nonbaku
            kata baku ialah kata yang sesuai kaidah tatabahasa dan nonbaku ialah kata yang tidak sejalan
   standar kaidah bahasa yang tepat.
b. kata abstrak dan konkret
            kata abstrak adalah kata yang tidak mempunyai rujukan/objek yang jelas secara inderawi,
   sedang kata konkret ialah kata yang rujukannya berupa objek yang dapat diserap pancaindera atau
   nyata, misalnya :
   Abstrak : kesehatan, keadilan, dan kecintaan, dan sebagainya.
   Konkret : berdiskusi, buku, pesawat terbang, dan sebagainya.
c. Sinonim, antonim, homonim, homofon, homograf
            pengertian kelima istilah di atas menurut Keraf (1980) dan Tarigan (1986) adalah sebagai
   berikut.
(1)   Sinonim adalah kata yang tulisan dan lafalnya berbeda namun maknanya relatif mirip atau sama.
Contoh : Cerdas, pintar, cakap, cerdik, pandai, dan mahir.
(2)   Antonim adalah kata yang tulisan dan ucapannya sama sedang maknanya berlawanan.
Contoh : besar – kecil, tinggi – rendah, dan lain-lain.
(3)   Homograf ialah kata yang sama tulisan tetapi berbeda ucapan dan maknanya.
Contoh : mental (terpelanting) dengan mEntal (jiwa)
(4)   Homofon adalah kata yang relative sama bunyinya tetapi tulisan dan maknanya berbeda.
Contoh : bang (mobil) dengan bank (BRI)
(5)   Homonim adalah kata yang tulisan dan ucapan sama tetapi maknanya berbeda.
Contoh : bisa (dapat) dengan bisa (racun)

B.      MANFAAT MEMPELEAJARI SINTAKSIS DAN SEMANTIK
Bagi seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan :
Mereka akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik,yang dapat memudahkan dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
2. Bagi peneliti bahasa :
Bagi pelajar sastra, pengetahuan semantik akan banyak member bekal teoritis untuk menganalisis bahasa yang sedang dipelajari.
Sedangkan bagi pengajar sastra, pengetahuan semantik akan member manfaat teoritis, maupun praktis. Secara teoritis, teori-teori semantik akan membantu dalam memahami dengan lebih baik bahasa yang akan diajarkannya. Dan manfaat praktisnya adalah kemudahan untuk mengajarkannya.
3. Bagi orang awam :
Pemakaian dasar-dasar semantik tentunya masih diperlukan untuk dapat memahami dunia yang penuh dengan informasi dan lalu-lintas kebahasaan yang terus berkembang.
Semantik Dalam Studi Linguistik
1. Aristoteles (384 – 322 SM)
 Kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Yaitu (1) makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom (makna leksikal), dan (2) makna yang hadir akibat proses gramatika (makna gramatikal). (Ullman 1977:3)
2. Plato (429 – 347 SM)
Bunyi-bunyi bahasa secara implicit mengandung makna tertentu.
 
 Memang ada perbedaan pendapat antara Plato dan Aristoteles. Pato mempercayai tentang adanya hubungan berarti antara kata (bunyi-bunyi bahasa) dengan referent-nya. Sedangkan Aristoteles, berpendapat bahwa hubungan antara bentuk dan arti kata adalah soal perjanjian antar pemakainya (Moulton 1976 : 3).

3. C. Chr. Reisig (1825)
Konsep baru mengenai gramatika :
Gramatika terdiri dari tiga unsure utama, yaitu :
a) Semasiologi – studi tentang tanda
b) Sintaksis – studi tentang susunan kalimat
c) Etimologi – studi tentang asal usul kata,perubahan bentuk kata, dan perubahan makna
4. Michel Breal (akhir abad XIX)
Dalam karangannya, Essai de Semantique, telah menggunakan istilah semantik. Dan menyebutnya sebagai suatu bidang ilmu yang baru.
5. Ferdinand de Saussure
Dalam bukunya Cours de Linguistique Generale (1916). 
“studi lingustik harus difokuskan pada keberadaan bahasa pada waktu tertentu. Pendekatannya harus sinkronis, dan studinya harus deskriptif”.
De Saussure juga mengajukan konsep signé (tanda) untuk menunjukkan hubungan antara signifié (yang ditandai) dan signifiant (yang menandai).
Signifié adalah makna atau konsep dari signifiant yang berwujud bunyi-bunyi bahasa.
Signifié dan signifiant sebagai signé linguistique adalah satu kesatuan yang merujukpada satu referent. Yaitu sesuatu, berupa benda atau hal yang dikuar bahasa


1.9          TATARAN LINGUISTIK SEMANTIK
Dalam berbagai kesempatan semantik disebutkan sebagai bidang studi linguistik yang obyek penelitiannya makna bahasa,semantik juga merupakan satu tataran linguistik,kalau istilah ini tetap dipakai harus diingat bahwa status tataran semantik dengan tataran fonologi,morfologi dan sintaksis adalah tidak sama,sebab secara hierarkial satuan bahasa disebut wacana.Chomsky,bapak linguistik transformasi dalam bukunya yang ke-2 menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi) dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik ini.
A.      Medan makna dan komponen makna
Kata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata-kata yang berbeda dalam satu medan makna atau satu medan leksikal.
Medan makna adalah  seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan.
Misalnya : nama-nama warna, perabot rumah tangga
Komponen makna, mkasudnya makna setiap kata terdiri dari sebuah komponen yang membentuk keseluruhan makna itu.
Contohnya : kata ayah memiliki komponen kata manusia, dewasa, jantan, kawin, dan punya anak.



1..10      SEMANTIK/PRAGMATIK DAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH

1.10.1    Pengertian Semantik dan Pragmatik
Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris. Para ahli bahasa memberikan pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna).
Pragmatik ialah cabang ilmu linguistik yang mengkaji hal-hal yang merangkumistruktur bahasa sebagai alat perhubungan sama ada antara penutur dan pendengaratau penulis dan pembaca. Di samping itu, sebagai pengacuan simbol-simbolbahasa pada hal-hal ekstralingual.Menurut Hashim Musa dan Ong Chin Guan (1998: 81).
1.10.2    Hubungan Semantik dan pragmatik
                                Semantik dan pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu yang dipelajari dalam studi linguistik. Dalam semantik kita mengenal yang disebut klasifikasi makna, relasi makna, perubahan makna, analisis makna, dan makna pemakaian bahasa. Sedangkan dalam pragmatik kita mengenal yang disebut interaksi dan sopan santun, implikatur percakapan, pertuturan, referensi dan inferensi serta deiksis.
1.10.3    Semantik dan pragmatik dalam pembelajaran bahasa Indonesia disekolah
                Pragmatik sebagaimana yang diperbincangkan di indonesia dewasa ini paling tidak dapat dibedakan atas dua hal sebagai berikut: “(1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan atau (2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar”. pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan masih dapat dibedakan lagi atas: “(1) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (2) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa”. Pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa lazim pula disebut “fungsi komunikatif”.
Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan dapat pula disebut “mengajar pragmatik” atau mengajar tentang bahasa yang salah satu bidangnya adalah pragmatik. Sebagai bahan yang disajikan di dalam kelas, pragmatik itu sejajar dengan mata kuliah lain, seperti sintaksis dan semantik. Kelas seperti itu adalah kelas tempat belajar tentang bahasa, bukan belajar bahasa.
             Pragmatik sebagai “fungsi komunikatif” biasanya disajikan di dalam pengajaran bahasa asing. Setiap bahasa memiliki sejumlah fungsi komunikatif, dan di dalam fungsi komunikatif itu terdapat tujuan-tujuan seperti “menyatakan rasa puas/tidak puas”, “menyatakan setuju/tidak setuju”, dan “menyampaikan ucapan salam atau selamat”. Menurut Bambang (1990: 3), “utaraan-utaraan seperti inilah yang dijabarkan sebagai ‘pokok bahasan’ pragmatik di dalam kurikulum 1984 untuk pengajaran bahasa indonesia”.

1.10.4    Fungsi Semantik dan pragmatik di dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004:22) (dalam Quinz 2008) terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Seperti diungkapkan juga oleh Kridalaksana (2007:3) bahwa bahasa ialah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Dari pengertian tersebut dapat dijabarkan bahwa bahasa merupakan suatu sistem yang sistematis, artinya bahasa dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang terkombinasi dengan kaidah-kaidah yang dapat diramalkan.
1.11        Penerapan semantik untuk menguji bahasa indonesia di sekokah