BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Pengertian Semantik
Kata semantik sebenarnya merupakan istilah
teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah ini merupakan istilah
baru dalam bahasa Inggris. Para ahli bahasa memberikan pengertian semantik
sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda
linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna).
Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama adalah semiotika, semiologi,
semasiologi, dan semetik. Pembicaraan tentang makna kata pun menjadi objek
semantik. Itu sebabnya Lehrer (1974:1) mengatakan bahwa semantik adalah studi
tentang makna (lihat juga Lyons 1, 1977:1), bagi Lehrer semantik merupakan
bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan
fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat, dan
antropologi. Pendapat yang berbunyi “semantic adalah studi tentang makna”
dikemukakan pula oleh Kambartel (dalam Bauerle, 1979:195). Menurutnya semantik
mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila
dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Sedangkan Verhaar
(1983:124) mengatakan bahwa semantik berarti teori makna atau teori arti.
Batasan yang hampir sama ditemukan pula dalam Ensiklopedia Britanika
(Encyclopaedia Britanica, Vol. 20, 1965:313) yang terjemahannya “Semantik
adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistic dengan hubungan
proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.” Soal makna menjadi urusan
semantik. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah
subdisiplin linguistik yang membicarakan makna. Dengan kata lain semantik
berobjekkan makna.
1.1.1
Jenis Makna
Menurut Chaer (1994), makna dapat
dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis
semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal,
berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat
dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada
tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna
denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna
kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan
kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna
asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya.
A. Makna Leksikal dan
Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk adjektif yang
diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari leksikon adalah leksem,
yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan
kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan
kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang
bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu, dapat
pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna
yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh
nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994). Umpamanya kata tikus makna
leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya
penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati
diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan
dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal berkenaan dengan makna leksem
atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna
yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi,
proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan
ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh
adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam kalimat Ketika balok itu
ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal ’tidak
sengaja’.
B. Makna Referensial
dan Nonreferensial
Perbedaan makna referensial dan makna
nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila
kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh
kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata
itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna
nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna referensial
karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut
’meja’. Sebaliknya katakarena tidak mempunyai referen, jadi
kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
C. Makna Denotatif
dan Konotatif
Makna denotatif pada dasarnya sama dengan
makna referensial sebab makna denotatif lazim diberi penjelasan sebagai makna
yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran,
perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut
informasi-informasi faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering
disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer, 1994). Umpama
kataperempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai dua makna yang
sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.
Sebuah kata disebut mempunyai makna
konotatif apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”, baik positif maupun negatif.
Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi
dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga berubah dari
waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi
negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang konotasinya positif.
D. Makna Kata dan
Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna,
namun dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu
sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda
dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas, yang pasti, yang
tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering
dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa
sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari contoh berikut
(1) Tangannya luka kena pecahan kaca.
(2) Lengannya luka kena pecahan kaca.
Kata tangan dan lengan pada
kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau bermakna sama. Namun dalam bidang
kedokteran kedua kata itu memiliki makna yang berbeda.Tangan bermakna
bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan; sedangkan lenganadalah
bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
E. Makna Konseptual
dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna
konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah
makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa
pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ’sejenis binatang berkaki
empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna konseptual sesungguhnya sama saja
dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki
sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan
sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, katamelati berasosiasi
dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
F. Makna Idiomatikal
dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya
tidak dapat ”diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun
secara gramatikal. Contoh dari idiom adalah bentuk membanting
tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja hijau dengan makna
’pengadilan’.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki
makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena
adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
Umpamanya peribahasa Seperti anjing dengan kucingyang bermakna ’dikatakan
ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa
binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi,
tidak pernah damai.
G. Makna Kias
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan
istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena
itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk
pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif)
disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri
malamdalam arti ’bulan’, raja siang dalam arti ’matahari’.
1.2
Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa disini dapat berupa kata frase maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna. Pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna atau juga kelebihan makna. Relasi makna biasanya dibicarakan masalah-masalah yang disebut sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan redundansi.
Sinonim
Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satu satuan ujaran lainnya. Misalnya antara kata betul dengan kata benar. Contoh dalam bahasa Inggris antara kata freedom dan liberty.
Relasi sinonimi bersifat dua arah, maksudnya kalau satu ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B dan sebaliknya. Secara konkret kalau kata betul bersinonim dengan kata benar, kata benar bersinonim dengan kata betul.
Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama.
kesamaan itu terjadi karena berbagai faktor.
Faktor waktu
Faktor tempat atau wilayah
Faktor keformalan
Faktor sosial
Faltor bidang kegiatan
Faktor nuansa makna
Antonim
Antonim adalah hubungan semantikatau antonimi antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baik, kata mati berantonim dengan kata hidup. Sifat antonim dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:
Antonim yang bersifat mutlak. Umpamanya kata hidup berantonim dengan kata mati, sebab segala sesuatu yang masih hidup tentu belum mati, dan sesuatu yang sudah mati tentu sudah tidak hidup lagi.
Antonim yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya kata besar dan kecil berantonimi secara relatif. Jenis antonim ini disebut bersifat relatif, karena batas antara satu dengan lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas. Batasnya itu dapat bergerak menjadi lebih atau kurang. Karena itu, sesuatu yang tidak besar belum tentu kecil, dan sesuatu yagng tidak dekat belum tentu jauh. Karena itu pula kita dapat mengatakan misalnya lebih dekat, sangat dekat, atau juga paling dekat.
Antonim yang bersifat hierarkial. Umpama kata tamtama dan bintara berantonim secara hierarkial. Antonimi jenis ini disebut bersifat hierarkial karena kedua satuan ujaran yang berantonim itu berada dalam satu garis jenjang atau hierarki.
Polisemi
Dalam kasus ini biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus) adalah makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya atau makna konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkanberdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu.
Homonimi
Homonimi adalah 2 buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Umpamanya, antara kata pacar yang bermakna “inai” dan kata pacar dan yang bermakna “kekasih”.Jadi kalau pacar yang bermakna “inai”berhomonim dengan kata pacar yang bermakna “kekasih”.Maka,pacar yang bermakna “kekasih” berhomonim dengan kata yang bermakna “inai”
Homofoni
Adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran tanpa memperhatikan ejaan.
Homografi
Mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya tetapi ucapan dan maknanya tidak sama.
Hiponimi
Adalah hubungan sematik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain.
Misalnya:kata merpati mencakup dalam kata burung jadi merpati adalah hiponim dari burung dan burung berhipernim dengan merpati.
Ambiguiti dan ketaksaan
Adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tefsiran gramatikal yang berbeda.
Contoh:buku sejarah baru
Dapat ditafsirkan:1 buku sejarah itu baru terbit.
2 buku itu memuat sejarah zaman baru.
Redundansi
Istilah redudansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihan penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.
Misal:kalimat bola itu ditendang oleh dika tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan bola itu ditendang Dika.Jadi tanpa penggunaan preposisi”oleh”.Penggunaan kata “oleh”inilah yang dianggap redudansi,berlebih-lebihan.
Faktor tempat atau wilayah
Faktor keformalan
Faktor sosial
Faltor bidang kegiatan
Faktor nuansa makna
Antonim
Antonim adalah hubungan semantikatau antonimi antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baik, kata mati berantonim dengan kata hidup. Sifat antonim dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:
Antonim yang bersifat mutlak. Umpamanya kata hidup berantonim dengan kata mati, sebab segala sesuatu yang masih hidup tentu belum mati, dan sesuatu yang sudah mati tentu sudah tidak hidup lagi.
Antonim yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya kata besar dan kecil berantonimi secara relatif. Jenis antonim ini disebut bersifat relatif, karena batas antara satu dengan lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas. Batasnya itu dapat bergerak menjadi lebih atau kurang. Karena itu, sesuatu yang tidak besar belum tentu kecil, dan sesuatu yagng tidak dekat belum tentu jauh. Karena itu pula kita dapat mengatakan misalnya lebih dekat, sangat dekat, atau juga paling dekat.
Antonim yang bersifat hierarkial. Umpama kata tamtama dan bintara berantonim secara hierarkial. Antonimi jenis ini disebut bersifat hierarkial karena kedua satuan ujaran yang berantonim itu berada dalam satu garis jenjang atau hierarki.
Polisemi
Dalam kasus ini biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus) adalah makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya atau makna konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkanberdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu.
Homonimi
Homonimi adalah 2 buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Umpamanya, antara kata pacar yang bermakna “inai” dan kata pacar dan yang bermakna “kekasih”.Jadi kalau pacar yang bermakna “inai”berhomonim dengan kata pacar yang bermakna “kekasih”.Maka,pacar yang bermakna “kekasih” berhomonim dengan kata yang bermakna “inai”
Homofoni
Adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran tanpa memperhatikan ejaan.
Homografi
Mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya tetapi ucapan dan maknanya tidak sama.
Hiponimi
Adalah hubungan sematik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain.
Misalnya:kata merpati mencakup dalam kata burung jadi merpati adalah hiponim dari burung dan burung berhipernim dengan merpati.
Ambiguiti dan ketaksaan
Adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tefsiran gramatikal yang berbeda.
Contoh:buku sejarah baru
Dapat ditafsirkan:1 buku sejarah itu baru terbit.
2 buku itu memuat sejarah zaman baru.
Redundansi
Istilah redudansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihan penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.
Misal:kalimat bola itu ditendang oleh dika tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan bola itu ditendang Dika.Jadi tanpa penggunaan preposisi”oleh”.Penggunaan kata “oleh”inilah yang dianggap redudansi,berlebih-lebihan.
A. Pembeda Makna dan
Hubungan antarkomponen Makna
Untuk dapat menganalisi komponen makna seseorang perlu mengetahui
hubungan-hubunganmakna yang ada di dalam kata-kata. Misalnya kata
melompat dan melompat-lompat
mempunyai hubungan makna dan perbedaan makna, sehingga
diperlukan komponen pembeda. Lain halnya jika kata
melompat
dibandingkan dengan kata
melihat,
terdapatkenyataan bahwa kedua kata itu tidak memperlihatkan hubungan
makna. Komponen pembeda makna akan jelas apabila diketahui komponen makna.
Komponen maknadiperlukan untuk mengetahui seberapa jauh kedekatan
kemiripan, kesamaan, danketidaksamaan suatu makna kata.
Berdasarkan hal tersebut di atas pembeda makna akan terjadi karena
beberapa hal berikut ini.(1) Perbedaan bentuk akan melahirkan perbedaan makna;
dan(2) Perubahan bentuk akan melahirkan hubungan makna.
B. Langkah Analisi
Komponen Makna
Menganalisis komponen makna memerlukan langkah-langkah tertentu.
Nida (dalamSudaryat ,2009:57) menyebutkan enam langkah untuk menganalisis
komponen makna
1) Menyeleksi sementara makna yang muncul dari sejumlah komponen yang umum
dengan pengertian makna yang dipilih masih berada di dalam makna tersebut. Misalnya
dalam kriteria marah terdapat leksem (mendongkol, menggerutu, mencaci maki,
dan mengoceh).
2)
Mendaftar semua ciri spesifik yang dimiliki oleh rujukannya. Misalnya
untuk kata ayah terdapat cirri spesifik antara: [+insan] [+jantan], [+kawin], dan
[+anak].
3) Menentukan komponen
yang dapat digunakan untuk kata yang lain. Misalnya ciriµkelamin perempuan, dapat digunakan untuk kata ibu, kakak
perempuan, adik perempuan,bibi dan nenek.
4) Menentukan komponen
diagnostik yang dapat digunakan untuk setiap kata. Misalnyauntuk kata ayah
terdapat komponen diagnostik jantan
satu turunan di atas ego.
5) Mengecek data yang
dilakukan pada langkah pertama.
6) Mendeskripsikan
komponen diagnostiknya misalnya dalam bentuk matriks.
C. Hambatan Analisis
Komponen Makna
Dalam menganalisis komponen makna terdapat beberapa kesulitan
atau hambatan
sebagai berikut (Pateda, 2001:274)
1) Lambang yang didengar
atau dibaca tidak diikuti dengan unsur-unsur suprasegmental dan juga
unsur-unsur ekstra linguistik.
2) Tiap kata atau leksem
berbeda pengertiannya untuk setiap disiplin ilmu. Kata seperti inidisebut
istilah. Misalnya istilah kompetensi ada pada bidang linguistik, psikologi, dan pendidikan.
Meskipun istilah itu memiliki medan yang sama, tetapi pasti ada perbedaansesuai
dengan disiplin ilmu tersebut.
3) Tiap kata atau leksem
memiliki pemakaian yang berbeda-beda.
4) Leksem yang bersifat
abstrak sulit untuk di deskripsikan. Misalnya: liberal, sistem.
5) Leksem yang bersifat
dieksis dan fungsional sulit untuk dideskripsikan. Misalnya:
ini, itu,dan, di.
6) leksem-leksem yang
bersifat umum sulit untuk dideskripsikan. Misalnya:
binatang,burung, ikan, manusia.
Abdul Chaer (2009:118) menambahkan bahwa dari pengamatan terhadap data
unsur-unsur leksikal ada tiga hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan
analisis komponen makna.1). Ada pasangan kata yang salah satu daripadanya lebih
bersifat netral atau umum sedangkanyang lain lebih bersifat khusus. Misalnya
pasangan kata
Mahasiswa dan mahasiswi.
Kata
mahasiswa
lebih bersifat umum dan netral karena dapat termasuk pria dan wanita
sedangkankata
mahasiswi
lebih bersifat khusus karena hanya mengenai wanita. Unsur leksikal
yang bersifat umum seperti kata tersebut dikenal sebagai amggota yang
tidak bertanda dari pasangan itu. Dalam diagram anggota yang tidak
bertanda ini diberi tanda 0 atau ±.2). Ada kata atau unsur leksikal yang sukar
dicari pasangannya karena memang mungkintidak ada, tetapi ada juga yang
mempunyai pasangan lebih dari satu. Contoh yang sukar dicari pasangannya
antara lain kata-kata yang berkenaan dengan warna.3) Seringkali kita sukar
mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang
lebih bersifat umum dan mana yang lebih bersifat khusus. Umpamanya ciri
[jantan] dan [dewasa]mana yang lebih bersifat umum. Keduanya dapat ditempatkan
sebagai unsur yang lebih tinggidalam diagram yang berlainan. Ciri-ciri semantik
ini dikenal sebagai ciri-ciri penggolongansilang.
1.3 Hubungan
Antara Butir-butir leksikal dan Komponen
Makna adalah hubungan antara lambang
bunyi dengan acuannya. Makna merupakan bentuk responsi dari stimulus yang
diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar
yang dimiliki.
Ujaran manusia itu mengandung makna yang
utuh. Keutuhan makna itu merupakan perpaduan dari empat aspek, yakni
pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan
amanat(intension). Memahami aspek itu dalam seluruh konteks adalah bagian dari
usaha untuk memahami makna dalam komunikasi.
1.3.1
jenis Makna
- Makna
Leksikal
Makna lekiskal adalah makna
unsur-unsur bahasa(leksem)
sebagai lambang benda, peristiwa, obyek, dan lain-lain. Makna ini dimiliki
unsur bahasa lepas dari penggunaan atau konteksnya. Misalnya:
kata tikus bermakna "binatang
pengerat yang bisa menyebabkan penyakit tifus". Makna ini akan jelas dalam
kalimat berikut.
Kucing makan tikus mati.
Tikus itu mati diterkam kucing.
Panen kali ini gagal akibat serangan tikus
Jika kata tikus pada ketiga kalimat di
atas bermakna langsung (konseptual), maka pada kalimat berikut bermaknakiasan
(asosiatif ).
Yang menjadi tikus di kantor kami ternyata
orang dalam.
- Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna struktural
yang munculsebagai akibat hubungan antara unsur-unsur gramatikal dalamsatuan
gramatikal yang lebih besar. Misalnya, hubungan morfemdan morfem dalam kata,
kata dan kata lain dalam frasa atauklausa, frasa dan frasa dalam klausa atau
kalimat.
Makna gramatikal merupakan makna yang timbul
karena peristiwa gramatikal. Makna gramatikal itu dikenali dalam kaitannya
dengan unsur yang lain dalam satuan gramatikal. Jika satuan yang lain itu
merupakan konteks, makna gramatikal itu disebut juga makna kontekstual. Dalam
konteks itu, kata amplop, misalnya, tidak lagi bermakna “sampul surat”, tetapi
dapat berarti uang suap. Makna gramatikal tidak hanya berlaku bagi kata atau
unsur leksikal, tetapi juga morfem. Makna gramatikal juga dapat berupa hubungan
semantis antar unsur.
1.4 Makna
dan Maksud dan informasi
1.4.1 Pengertian Makna
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian
dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan
bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna
tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam
Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna
dengan pengertian. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure ( dalam Abdul Chaer,
1994:286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang
dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna
dijabarkan menjadi :
1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa dalam
pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3. hubungan dalam arti kesepadanan
atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang
ditunjukkannya,dan
4. cara menggunakan lambang-lambang
bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
Bloomfied (dalam Abdul Wahab, 1995:40)
mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis
dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya.
Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998:50) mengemukakan bahwa makna
merupakan hubungan antara bahsa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh
pemakai bahsa sehingga dapat saling dimengerti.
Dari pengertian para ahli bahsa di atas,
dapat dikatakan bahwa batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan
karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang
berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.
1.4.2 Aspek-aspek Makna
Aspek-aspek makna dalam semantik menurut Mansoer Pateda ada empat hal,
yaitu :
1. Pengertian (sense)
Pengertian disebut juga dengan tema. Pengertian ini dapat dicapai
apabila pembicara dengan lawan bicaranya atau antara penulis dengan pembaca
mempunyai kesamaan bahasa yang digunakan atau disepakati bersama. Lyons (dalam
Mansoer Pateda, 2001:92) mengatakan bahwa pengertian adalah sistem
hubungan-hubungan yang berbeda dengan kata lain di dalam kosakata.
2. Nilai rasa (feeling)
Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap
pembicara terhadap hal yang dibicarakan.dengan kata lain, nilai rasa yang
berkaitan dengan makna adalah kata0kata yang berhubungan dengan perasaan, baik
yang berhubungan dengan dorongan maupun penilaian. Jadi, setiapkata mempunyai
makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai makna yang
berhubungan dengan perasaan.
3. Nada (tone)
Aspek makna nada menurut Shipley adalah sikap pembicara terhadap kawan
bicara ( dalamMansoer Pateda, 2001:94). Aspek nada berhubungan pula dengan
aspek makna yang bernilai rasa. Dengan kata lain, hubungan antara pembicara
dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang
digunakan.
4. Maksud (intention)
Aspek maksud menurut Shipley (dalam Mansoer Pateda, 2001: 95)
merupakan maksud senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan.
Maksud yang diinginkan dapat bersifat deklarasi, imperatif, narasi, pedagogis,
persuasi, rekreasi atau politik.
Aspek-aspek makna tersenut tentunya mempunyai pengaruh terhadap
jenis-jenis makna yang ada dalam semantik. Di bawah ini akan dijelaskan seperti
apa keterkaitan aspek-aspek makna dalam semantik dengan jenis-jenis makna dalam
semantik.
1.4.3 Pengertian
Maksud
Maksud merupakan tujuan dari penyampaian
sebuah informasi kepada pembaca atau pendengar. Atau tujuan dari suatu istilah
atau kata
Contohnya : suatu sales regulator kompor selalu menawarkan produknya
yang bagus dan terbaik, dan itu bermaksud untuk menarik minat pembeli.
1.4.4 Pengertian
Informasi
Informasi adalah pesan (ucapan atau ekspresi) atau kumpulan pesan
yang terdiri dari order sekuens dari simbol, atau makna
yang dapat ditafsirkan dari pesan atau kumpulan pesan. Informasi dapat direkam
atau ditransmisikan. Hal ini dapat dicatat sebagai tanda-tanda, atau
sebagai sinyal berdasarkangelombang.
Informasi adalah jenis acara yang mempengaruhi suatu negara dari sistem dinamis. Para konsep
memiliki banyak arti lain dalam konteks yang berbeda. Informasi bisa di
kattakan sebagai pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran, pengalaman,
atau instruksi. Namun demikian, istilah
ini memiliki banyak arti bergantung pada konteksnya, dan secara umum
berhubungan erat dengan konsep seperti arti, pengetahuan, negentropy, Persepsi,Stimulus, komunikasi, kebenaran, representasi, dan rangsangan mental.
Macam-macam informasi :
Informasi langsung
Informasi tidak langsung
1.4.5 Hakikat
Makna Sebagai Objek Semantik
Semantik dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Inggris semantiks, dari bahasa Yunani sema (nomina)
‘tanda’: atau dari verba samaino ‘menandai’, ‘berarti’. Istilah
tersebut digunakan para pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang
mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang
meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaksis) dan semantik.
Kata semantik sepadan dengan kata semasiologi yang
diturunkan dari kata bahasa Yunani semainein yang
berarti ‘bermakna’ atau ‘berarti’. Semantik sebagai istilah di
dalam ilmu bahasa mempunyai pengertian tertentu. Yang dimaksud istilah semantik
iialah penelitian makna kata dalam bahasa tertentu menurut sistem penggolongan.
Jadi, semantik adalah cabang lingustik yang bertugas semata-mata meneliti makna
kata, bagaimanaasal mulanya, bagaimana perkembangannya, dan apa yang
menyebabkan terjadi perubahan makna dalam sejarah atau bahasa.
Kridalaksana (1993: 193-194) dalam kamus linguistik memberikan
pengertian semantik, (1) bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan
dan juga dengan struktur makna atau wicara; (2) sistem dan penyelidikan makna
arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.
Hubungan makna dengan kata-kata lain
Dalam bahasa
Indonesia dikenal adanya berb agai macam makna kata yang berhubungan dengan kata-kata lainnya.
Diantaranya adalah :
1. Sinonim
Sinonim ialah dua kata atau lebih yang memiliki makna yang sama atau
hampir sama.
Contoh:
a. yang sama maknanya
sudah - telah
sebab - karena
amat - sangat
b. yang hampir sama maknanya
untuk – bagi – buat – guna
cinta – kasih – sayang
melihat – mengerling – menatap – menengok
2. Antonim
Antonim ialah kata-kata yang berlawanan maknanya/ oposisi.
Contoh:
besar >< kecil
ibu >< bapak
bertanya ><
menjawab
3. Homonim
Homonim ialah dua kata atau lebih yang ejaannya sama, lafalnya sama,
tetapi maknanya berbeda.
Contoh:
bisa I : racun
bisa II : dapat
kopi I : minuman
kopi II : salinan
4. Homograf
Homograf adalah dua kata atau lebih yang tulisannya sama, ucapannya
berbeda, dan maknanya berbeda.
Contoh:
tahu : makanan
tahu : paham
teras : inti kayu
teras : bagian
rumah
5. Homofon
Homofon ialah dua kata atau lebih yang tulisannya berbeda, ucapannya
sama, dan maknanya berbeda.
Contoh:
bang dengan bank
masa dengan massa
6. Polisemi
Polisemi ialah suatu kata yang memilki makna banyak.
Contoh:
a. Didik jatuh dari
sepeda.
b. Harga tembakau jatuh.
c. Peringatan HUT RI ke-55 jatuh hari
Minggu.
d. Setiba di rumah
dia jatuh sakit.
e. Dia jatuh dalam
ujiannya.
7. Hiponim
Hiponim ialah kata-kata yang tingkatnya ada di bawah kata yang menjadi
superordinatnya/ hipernim (kelas atas).
Contoh: Kata
bunga merupakan superordinat, sedangkan mawar, melati, anggrek, flamboyan, dan
sebagainya merupakan hiponimnya. Hubungan mawar, melati, anggrek, dan flamboyan
disebut kohiponim.
Gejala-gejala perubahan makna
a. Perluasan makna kata (generalisasi), terjadi apabila cakupan
makna suatu kata lebih luas dari makna asalnya.
Contoh :
berlayar (makna asal) ® mengarungi lautan dengan kapal layar
(sekarang) ® mengarungi lautan dengan berbagai.
b. Penyempitan makna kata (spesialisasi), terjadi apabila makna
suatu kata lebih sempit cakupannya daripada makna asalnya.
Contoh :
Sarjana
(makna asal) ® sebutan untuk semua orang berilmu
(sekarang) ® orang-orang berpendidikan S-1
c. Amelioratif adalah perubahan makna kata yang nilai
rasanya lebih tinggi daripada asalnya.
Contoh :
Wanita
(makna asal) ® nilainya rendah
(sekarang) ® lebih terhormat
d. Peyorasi adalah perubahan makna kata yang nilainya
menjadi lebih rendah daripada makna sebelumnya.
Contoh :
Gerombolan
(makna asal) ® orang-orang yang berkelompok, bergerombol
(sekarang) ® orang-orang pengacau
e. Sinestesia, adalah perubahan makna akibat pertukaran anggapan
antara dua indra yang berlainan.
Contoh :
Kata-katanga pedas
Pedas ® kata kasar (pendengaran)
(makna asal) ® indra pengecapan
f. Asosiasi adalah perubahan makna kata yang terjadi karena
persamaan sifat.
Contoh :
Beri saja dia amplop, pasti segala urusanmu jadi gampang.
amplop
(makna asal) ® wadah untuk memberi uang
(sekarang) ® uang yang beramplop, suap
Kata umum dan kata khusus
Kata Umum
Kata umum adalah kata-kata yang pemakaiannya dan maknanya bersifat
umum dan luas. Bidang dan obyek yang dicakup oleh kata umum itu luas dan tidak
secara spesifik merujuk atau merepresentasikan bidang atau obyek tertentu.
Jenis kata umum tidak memiliki pertalian yang erat dengan obyeknya. Sebagai
akibatnya, kata umum kurang memberi daya imajinasi kepada audiens atau pembaca.
Citra dalam pikiran audiens/ pembaca masih samar.
Contoh:
Ibu menanam pohon di halaman.
Andri memberikan bunga kepada Isti.
Pak Budi membeli 10 ekor ikan di pasar.
Andri memberikan bunga kepada Isti.
Pak Budi membeli 10 ekor ikan di pasar.
Kata “pohon” dan “bunga” dalam kalimat itu tidak serta merta
membangkitkan citra pohon yang dimaksudkan oleh penutur. Bayangan dan pemahaman
setiap pembaca mengenai kata “pohon” itu jadi samar dan beranekaragam
tergantung dari pengalaman pihak pembaca terhadap jenis pohon yang pernah
dijumpainya di halaman. Dampak ikutannya, kata umum “pohon” itu jadi kurang
memiliki daya sugesti dan daya impresi. Pesan yang disampaikan penutur jadi
kurang kuat dan impresi (kesan) yang ditinggalkan dalam hati dan pikiran rekan
bicaranya juga jadi dangkal.
Dalam relasi makna, kata umum tergolong hipernim. Dari aspek ini, kata
umum juga disebut superordinat.
Sifat keumuman kata umum ini berguna dalam abstraksi, generalisasi,
dan kategorisasi, sehingga kata ini sering digunakan dalam karya tulis
eksposisi. Penggunaan kata umum dalam karya tulis deskripsi atau narasi lebih
dibatasi, mengingat kata umum kurang memberi daya imajinasi,sugesti, dan
impresi kepada pembaca.
Kata Khusus
Kata Khusus adalah kata-kata yang pemakaiannya dan maknanya bersifat
spesifik dan sempit dan yang merujuk kepada pengertian kongkret dan tertentu.
Bidang, ruang lingkup, dan obyek yang dicakup oleh kata khusus itu sempit dan
dia secara spesifik merujuk atau merepresentasikan bidang, ruang lingkup, atau
obyek yang sempit, di samping juga hanya meliputi aspek tertentu saja.
Jenis kata khusus memiliki pertalian yang erat dengan obyeknya.
Sebagai akibatnya, kata khusus memberi daya imajinasi kepada audiens atau
pembaca. Citra dalam pikiran audiens/ pembaca tidak samar.
Komunikator lebih tepat menggunakan kata khusus bila ingin memperoleh
pengertian yang lebih pas dengan apa yang dia maksudkan.
Contoh:
No Kata Umum Kata Khusus
1 Ibu menanam pohon di halaman. Ibu menanam pohon Mangga di halaman.
2 Andri memberikan bunga kepada Isti. Andri memberikan Melati kepada Isti.
3 Pak Budi membeli 10 ikan di pasar. Pak Budi membeli 5 ekor Gurame, 3 ekor Mujaher, dan 2 ekor Nila di pasar.
No Kata Umum Kata Khusus
1 Ibu menanam pohon di halaman. Ibu menanam pohon Mangga di halaman.
2 Andri memberikan bunga kepada Isti. Andri memberikan Melati kepada Isti.
3 Pak Budi membeli 10 ikan di pasar. Pak Budi membeli 5 ekor Gurame, 3 ekor Mujaher, dan 2 ekor Nila di pasar.
Sebagaimana nampak dalam contoh tersebut, kata khusus memiliki daya
sugesti dan daya impresi yang lebih kuat dan lebih dalam daripada kata umum.
Selain itu, informasi yang disampaikan kepada pembaca juga jelas dan merujuk
pada obyek/ subyek tertentu. Begitu mendengar atau membaca “pohon Mangga” atau
“Melati”, maka seketika muncul citra obyek yang direpresentasikan oleh kedua
kata itu.
Dalam relasi makna, kata khusus tergolong hiponim.Dari aspek ini, kata
umum juga disebut subordinat.
Sifat kekhususan kata khusus ini sangat bermanfaat dalam karya tulis
narasi, deskripsi, dan argumentasi yang memang membutuhkan deskripsi obyek.
Karya-karya Sastra dan kitab-kitab suci juga mengeksploitasi kata khusus,
misalkan saja untuk simbolisasi dan untuk memperkuat impresi dan pesan yang
disampaikan dan memperdalam penghayatan.
Hubungan antara kata umum kata khusus itu bersifat relatif. Maksudnya,
suatu kata tertentu bisa merupakan kata khusus dari kata lain yang lebih umum;
dan kata yang lebih umum itu bisa menjadi kata khusus untuk kata lainnya lagi.
Relativitas kata umum dan kata khusus ini menciptakan gradasi kata.
Contoh, “Honda” adalah kata khusus relatif terhadap kata umum “sepeda
motor”. “Sepeda motor” adalah kata khusus relatif terhadap kata umum
“kendaraan”. Demikian seterusnya. Untuk contoh lebih lengkap mengenai
relativitas kata umum dan kata khusus, lihat pada tabel di bawah ini.
1.6 Sinonim,
Antonim, Homonim, Hiponim, Redundasi
Relasi makna adalah
hubungan semantikyang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan
bahasa lainnya.
A. Sinonim
Sinonim atau sinomini adalah hubungan semantic
yang menyatakan adanya kesamaan makna antarasatu satuan ujaran engan satuan
ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar ;dan
antara kalimat Dika menendang bola dengan Bola
ditendang Dika.
Relasi sinonimi bersifat dua arah,maksudnya
kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan ujaran B,maka satuan ujaran B itu
bersinonim dengan ujaran A. dua buah kata bersinonim maknanya tidak akan sama.
Ketidaksamaan itu terjadi karena berbagai factor, antara lain ;
Pertama, factor
waktu. Umpama kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan .
namun kata hulubalang memiliki pengertian klasik sedangkan
kata komandan tidak memililki pengertian klasik.
Kedua, factor
tempat atau wilayah. Misalny kata saya dan beta,kata
saya bias digunakan dimana saja, sedangkan kata beta hanya
cocok digunakan diwilayah Indonesia bagian timur.
Ketiga, factor
keformalan. Misalnya kata uang dan duit,kata uang
dapat digunakan dalam ragam formal dan tak formal,sedangkan duit hanya
cocok untuk ragam tak formal.
Keempat , factor social. Umpamanya, kata saya dan aku,kata saya dapat
digunakan siapa saja dan kepada siapa saja; sedangkan kata akuhanya
dapat digunakan terhadap orang yang sebaya,atau yang lebih muda.
Kelima , bidang
kegiatan. Umpamanya kata matahari dan surya. Kata matahari bias
digunakan dalam kegiatan apa saja. Sedangkan katasurya hanya cocok
pada ragam khusus,terutama sastra.
Keenam, factor
nuansa makna. Umpamanya kata melihat,melirik,menonton,meninjau,dan mengintip
merupakan kata bersinonim.namun antara satu dengan yang lain tidak bias
dipertukarkan Karena memiliki nuansa makna yang berbeda.
Dari factor-faktor tersebut dapat disimpulkan
bahwa dua buah kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan atau
disubstitusikan.
B. Antonim
Antonim atau antonimi adalah
hubungan semantic antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan
kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain.
Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baik. Menjual berantonim
dengan membeli. Dilihat dari sifat hubungannya, maka antomini dapat
dibedakan atas beberapa jenis, antara lain;
Pertama, antonimi
yang bersifat mutlak. Umpamanya kata hidup berantonim
mutlak dengan kata mati. Karena sesuatu yang hidup tentunya belum
mati,dan sesuatu yang mati tentunya sudah tidak hidup lagi.
Kedua, antonimi
yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya
kata besar dan kecil, jauh dan dekat, berantonim
secara relatif,karena batasantara satu dengan lainnyatidak dapat ditentukan
secara jelas;batasnya tidak dapat bergerak menjadi lebih atau menjadi
berkurang. Karena itu sesuatu yang tidak besar belum tentu kecil dan sesuatu
yang tidak dekat belum tentu jauh.
Ketiga, bersifat relasional.
Umpamanya antara kata membeli dan menjual, antara
kata suami dan istri.disebut relasional karena
munculnya yang satu harus disertai dengan yang lain.
Keempat, bersifat hieralkial. Umpamanya,
kata gram dan kilogram. Bersifat hieralkial karena
kedua satuan ujaran yang berantonim itu berada dalam satu garis jenjangatau
hierarki. Klata gram dan kilogram berada dalam
satu jenjang ukuran timbangan.
C. Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut
polisemi kalu kata itu mempunyai kata lebih dari satu. Umpamanya kata kepala yang
setidaknya mempunyai makna (1) bagian tubuh manusia,(2) ketua atau pimpinan,(3)
sesuatu yang berada di sebelah atas (kepala surat).
Dalam polisemi ini,makna pertama dalam kamus
adalah makna sebenarnya,makna leksikalnya,makna denotatifnya,atau makna
konseptualnya. Yang lain adalah makna yang dikembangkan.
D. Homonimi
Homonimi adalah
dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; maknanya
berbeda karena masing-masing merupakan bentuk ujaran yang berlainan. Umpamanya,
antara kata pacar bermakna ‘inai’ dan kata pacar yang
bermakna ‘kekasih’,antara kata bisa yang berarti ‘racun ‘ dan
kata bisa yang berarti ‘sanggup’.
Pada kasus homonimi ada dua istilah lain yang
biasa dibicarakan yaitu homofoni dan homografi. Homofoni adalah
adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran,tanpa memperhatikan
ejaannya,apakah ejaannya sama atau berbeda. Misalnya kata bias yang
berarti ‘racun’ danbias yang berarti ‘sanggup’.
Istilah homografi mengacu
pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya,tetapi ucapan dan
maknanya tidak sama. Misalnya,memerah yang berarti ‘melakukan
perah’ dan memerah yang berarti ‘menjadi merah’.
Perbedaan antara homonimi dan polisemi. Bahwa
homonimi adalah dua buah bentuk ujaran atau lebih yang ‘kebetulan’ yang
bentuknya sama dan maknanya berbeda. Sedangkan polisemi adalah sebuh bentuk
ujaran yang memiliki makna lebih dari satu. Makna-makna yang ada dalam
polisemi, meskipun berbeda tetapi dapat dilacak secara etimologi dan semantic,
baha makna tersebut masih mempunyai hubungan. Contohnya, hubungan antara
makna kepala dengan kepala surat dapat
ditelusuri berasal dari makna leksikal kata kepala itu. Tetapi
kita tidak bias melacak hubungan antara bisa ‘racun’ dengan bisa ‘sanggup’.
E. Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantic antara
sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalammakna bentuk ujaran yang lain.
Umpamanya, antara kata merpati dan burung. Makna merpati tercakup
dalam makna kata burung. Kita dapat mengatakan bahwa merpatiadalah burung,tetapi burung bukan
hanya merpati. Relasi hiponimi bersifat searah,bukan dua arah.
F. Redundasi
Redundasi biasanya
diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsure segmental dalam suatu
bentuk ujaran. Umpamanya kalimatbola itu ditendang oleh Dika tidak
akan berbeda maknanya bila dikatakan Bola itu ditendang Dika. Jadi
tanpa menggunakan preposisi oleh.Penggunaan preposisi oleh ini
yang disebut terlalu berlebihan.
1.7 Kebenaran
makna kata dan Kebenaran wajib
1.7.1 Pengertian
Kebenaran
Kebenaran adalah
kenyataan yang benar-benar terjadi. Pernyatan ini pasti, dan tidak dapat
dipungkiri lagi. Kita manusia selalu ingin tahu kebenaran, karena hanya
kebenaranlah yang bisa memuaskan rasa ingin tahu kita, dengan kata lain
tujuan pengetahuan ialah mengetahui kebenaran. Tujuan ilmu juga mencapai
kebenaran, dengan kata lain, dalam ilmu kita manusia ingin memperoleh
pengetahuann yang benar, karena ilmu merupakan pengetahuan yang sistematis,
maka pengetahuan yang diituju ilmu adalah pengetahuan ilmiah.
Kita manusia bukan hanya
sekedar ingin tahu, tetapi ingin mengetahu kebenaran. Kita juga selalu ingin
memiliki pengetahuan yang benar. Kebenaran ialah persesuaian antara pengetahuan
dan obyeknya. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan
obyeknya.
- JENIS-JENIS KEBENARAN
1. Kebenaran
Individual
Kebenaran Individual
ini merupakan kebenaran yang di ikuti manusia berdasarkanpendapat sendiri.
2. Kebenaran Objektif
Kebenaran Objektif
merupakan kebenaran yang biasanya bersumber dari
ajaranleluhur yang diwariskan secara turun temurun dan sudah
mendarah daging dalam masyarakat.
3. Kebenaran
Hakiki
Kebenaran yang sifatnya mutlak, pasti dan tidak akan pernah mengalami
perubahan,tentunya kebenaran ini bukan dari manusia, tetapi
kebanaran ini datangnya dari Sang Pencipta, sebab itu
jangan sekali-kali kita meragukannya.
1. Teori kebenaran
Korespondensasi
Kebenaran Koresponden: Sesuatu
(pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung
didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju
oleh pernyataan tersebut. Teori koresponden menggunakan logika induktif,
artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal
khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada
fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contohnya,
Jurusan teknik elektro, teknik mesin, dan teknik sipil Undip ada di Tembalang.
Jadi Fakultas Teknik Undip ada di Tembalang.
Ujian kebenaran yang
dinamakan teori koresponden, adalah yang paling diterima secara luas oleh
kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan secara luas oleh
kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita
objektif atau fidelity to objective reality.
Kebenaran adalah kesesuaian antara
pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan
(judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan.
Kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita
lakukan tentang sesuat.
2.
Teori kebenaran Koherensi
Kebenaran Koheren: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila
konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Teori koheren menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan
dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus. Contohnya, seluruh
mahasiswa UNDIP harus mengikuti kegiatan Ospek. Luri adalah mahasiswa UNDIP,
jadi harus mengikuti kegiatan Ospek.[9]
Teori ini menyatakan bahwa bahwa sesuatu
yang dinyatakan akan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren bahkan
konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Hal ini dengan tegas dinyatakan oleh
Suriasumantri (2000:59) bahwa teori koherensi adalah terori yang berlandaskan
pada logika deduktif yang menyatakan bahwa suatu pernyataan yang dinyatakan benar
jika bersifat koheren dan konsisten. Contoh terdapat pernyataan bahwa “setiap
manusia akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar. Pernyataan yang sering
diungkapkan kesimpulan silogisme berikut ini dapat menjadi contoh yang lain,
yaitu:
Premis Mayor: Setiap manusia akan mati
Premis Minor: Marjono seorang manusia.
Entimennya: Marjono akan mati karena dia
seorang manusia.
3. Teori Kebenaran
Sintaksis
Teori ini berkembang di antara
filsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika
seprti Freiderich Schleiemacher. [11] Para penganut teori ini berpangkal pada keteraturan
sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa
yang melekat. Demikian suatu pernyataan bernilai benar apabila pernyataan
tersebut mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Dengan kata lain apabila
sebuah proposisi keluar dari yang disyaratkan maka proposisi tersebut tidak
mempunyai arti.
Kebenaran dalam perspektif ini
memerlukan sensitifitas kita untuk mengetahui bentuk-bentuk gramatikal dari
suatu bahasa. Karena gramatikal inilah yang akan digunakan untuk melakukan
penilaian kebenaran sebuah pernyataan.
4. Teori kebenaran
Simantis
Teori ini dianut oleh paham filsafat
analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bentrand Rusdell sebagai
tokoh pemula dari filsafat analitika bahasa.
. Menurut teori ini, kebenaran semantik
suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Arti
ini dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya dengan menunjuk pada referensi
atau kenyataan, juga arti yang dikemukakan itu memiliki arti yang bersifat
definitif.
Di dalam teori ini ada sikap yang
mengakibatkan diterimanya sebuah proposisi sebagai arti yang esoterik, arbiter,
atau hanya mempunyai arti jika dihubungkan dengan nilai praktis. Sikap-sikap
itu antara lain sikap epistemologis skeptik,
sikapepistemologic dan ideologic, sikap epistemologic pragmatik.
5. Teori kebenaran
Non-deskripsi
Teori kebenaran non deskripsi ini dikembangkan oleh penganut filsafat
fungsionalisme.
Karena pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai
nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi pernyataan itu. White (1978)
mengambarkan tentang kebenaran sebagaimana dikemukakannya:
“… to say. It is true that not many people are likely to do that” is a
way of agreeing with the opinion that not many people are likely to do that and
not a way of talking about the opinion, much less of talking about the sentence
used to express the opinion”.
Menilik pernyataan di atas, pengetahuan akan memiliki nilai benar
sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan
sehari-hari. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk
menggunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itulah
White (1978) lebih lanjut menjelaskan: “The theory non-descriptive gives us an
important insight into function of the use of “true” and “false”, but not an
analysis of their meaning”.
6.
Teori kebenaran Logik yang berlebihan
Teori Kebenaran Logik yang berlebihan (Logical-Superfluity Theory of
Truth).Teori ini dikembangkan oleh kaum Positivistik yang diawali oleh Ayer.
Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya
merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu
pemborosan, karena pada dasarnya apa –pernyataan– yang hendak dibuktikan
kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling
melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat
logik dengan menunjukkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama,
memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita
membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan.
Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak
dibuktikan nilai kebenarannya sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang
telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah
menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1984). Misalnya suatu
lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu
sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah
suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik
tertentu, sehingga berupa garis yang bulat.
- Sifat-sifat kebenaran
ilmiah
Kebenaran tidak dapat lepas dari kualitas,
hubungan dan nilai itu sendiri, maka setiap subjek yang memiliki pengetahuan
akan memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda satu dengan yang lainnya,
dan disitu terdapat sifat dari kebenaran.Sifat kebenaran dapat dibedakan
menjadi tiga hal , yaitu :
a. Kebenaran dari
kualitas pengetahuan, pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh
kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pernyataan itu.Kebenaran
berkaitan dengan pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang dimiliki ditilik
dari jenis pengetahuan yang dibangun, pengetahuan itu berupa :
1. Kebenaran biasa atau
subyektif, Pengetahuan ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subyektif,
artinya amat terikat pada subyek yang mengenai.
2. Pengetahuan ilmiah,
yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau bersifat spesifik
dengan menerapkan metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan para ahli sejenis.Kebenaran
dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil
penelitian yang penemuan muthakir.
3. Pengetahuan filsafat,
yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran,
bersifat mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran analisis, kritis dan
spekulatif.Sifat kebenaran yang terkandung adalah absolute-intersubjektif.
4. Kebenaran pengetahuan
yang terkandung dalam pengetahuan agama.Pengetahuan agama bersifat dogmatis
yang selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan
dalam kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang
digunakan untuk memahaminya.
5. Kebenaran dikaitkan
dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah
seseorang membangun pengetahuannya.
Implikasi dari penggunaan alat untuk
memperoleh pengetahuan akan mengakibatkan karakterstik kebenaran yang dikandung
oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya
.Jadi jika membangun pengetahuan melalui indera atau sense experience, maka
pembuktiannya harus melalui indera pula.
b. Kebenaran dikaitkan
atas ketergantungan terjadinya pengetahuan
Membangun pengetahuan tergantung dari
hubungan antara subjek dan objek, mana yang dominan.Jika subjek yang berperan ,
maka jenis pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif
.Sebaliknya jika objek yang berperan, maka jenis pengetahuannya mengandung
nilai kebenaran yang sifatnya objektif.
1.8 SINTAKSIS DAAN
SEMANTIK
1.8.1 SINTAKSIS
Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani,
yaitu sun yang
berarti “dengan” dan kata tattein yang berarti “menempatkan”.
Jadi, secara etimologi berarti: menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi
kelompok kata atau kalimat.
A. STRUKTUR SINTAKSIS
Secara umum struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek
(S), predikat (P), objek (O), dan keterangan
(K) yang berkenaan
dengan fungsi sintaksis. Nomina,
verba, ajektifa, dan numeraliaberkenaan dengan kategori
sintaksis. Sedangkan pelaku, penderita, dan penerima berkenaan dengan peran
sintaksis.
Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan
kata, bentuk kata, dan intonasi; bisa juga ditambah dengankonektor yang biasanya disebut konjungsi. Peran
ketiga alat sintaksis itu tidak sama antara bahasa yang satu dengan yang lain.
B.
KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS
Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata berperan
sebagai pengisi fungsi sintaksis, penanda kategori sintaksis, dan perangkai
dalam penyatuan satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan sintaksis.
Kata sebagai pengisi satuan sintaksis, harus dibedakan adanya dua macam kata
yaitu kata penuh dan kata tugas. Kata penuh adalah kata yang secara leksikal mempunyai
makna, mempunyai kemungkinan untuk mengalami proses morfologi, merupakan kelas
terbuka, dan dapat berdiri sendiri sebagai sebuah satuan. Yang termasuk kata
penuh adalah kata-kata kategori nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan
numeralia. Misalnya mesjidmemiliki makna ‘
tempat ibadah orang Islam ’. Sedangkan kata tugas adalah kata yang secara leksikal tidak
mempunyai makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan kelas tertutup,
dan di dalam peraturan dia tidak dapat berdiri sendiri. Yang termasuk kata
tugas adalah kata-kata kategori preposisi dan konjungsi. Misalnya dan tidak mempunyai makna leksikal,
tetapi mempunyai tugas sintaksis untuk menggabungkan menambah dua buah
konstituen.
Kata-kata yang termasuk kata penuh mempunyai
kebebasan yang mutlak, atau hampir mutlak sehingga dapat menjadi pengisi
fungsi-fungsi sintaksis. Sedangkan kata tugas mempunyai kebebasan yang
terbatas, selalu terikat dengan kata yang ada di belakangnya (untuk preposisi),
atau yang berada di depannya (untuk posposisi), dan dengan kata-kata yang
dirangkaikannya (untuk konjungsi).
1.8.1.1 FRASE
A.
Pengertian Frase
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang
berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif (hubungan antara kedua unsur
yang membentuk frase tidak berstruktur subjek - predikat atau predikat -
objek), atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi
sintaksis di dalam kalimat.
B.
Jenis Frase
v Frase Eksosentrik
Frase eksosentrik adalah frase yang komponen-komponennya tidak mempunyai
perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya.
Frase eksosentris biasanya dibedakan atas frase
eksosentris yang direktif atau disebut frase preposisional ( komponen pertamanya berupa
preposisi, seperti di, ke, dan dari, dan komponen
keduanya berupa kata atau kelompok kata, yang biasanya berkategori nomina) dan non
direktif (komponen
pertamanya berupa artikulus, seperti si dan sang sedangkan komponen keduanya
berupa kata atau kelompok kata berkategori nomina, ajektifa, atau verba).
v
Frase Endosentrik
Frase Endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya
memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan keseluruhannya. Artinya, salah
satu komponennya dapat menggantikan kedudukan keseluruhannya. Frase ini disebut
jugafrase modifikatif karena komponen keduanya, yaitu
komponen yang bukan inti atau hulu (Inggris head) mengubah atau
membatasi makna komponen inti atau hulunya itu. Selain itu disebut juga frase
subordinatif karena
salah satu komponennya, yaitu yang merupakan inti frase berlaku sebagai
komponen atasan, sedangkan komponen lainnya, yaitu komponen yang membatasi,
berlaku sebagai komponen bawahan.
Dilihat dari kategori intinya dibedakan adanya frase
nominal(frase endosentrik yang intinya berupa nomina atau pronomina
maka frase ini dapat menggantikan kedudukan kata nominal sebagai pengisi salah
satu fungsi sintaksis), frase verbal (frase endosentrik yang intinya berupa
kata verba, maka dapat menggantikan kedudukan kata verbal dalam sintaksis), frase
ajektifa (frase
edosentrik yang intinya berupa kata ajektiv), frase numeralia (frase endosentrik yang intinya berupa
kata numeral).
v
Frase Koordinatif
Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua
komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan secara potensial dapat
dihubungkan oleh konjungsi koordinatif. Frase koordinatif tidak menggunakan
konjungsi secara eksplisit disebut frase parataksis.
v
Frase Apositif
Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua komponennya saling
merujuk sesamanya, oleh karena itu urutan komponennya dapat dipertukarkan.
v
Perluasan Frase
Salah satu ciri frase adalah dapat diperluas. Artinya,
frase dapat diberi tambahan komponen baru sesuai dengan konsep atau pengertian
yang akan ditampilkan.
Dalam bahasa Indonesia perluasan frase tampak sangat
produktif.Antara lain karena pertama, untuk
menyatakan konsep-konsep khusus, atau sangat khusus, atau sangat khusus sekali,
biasanya diterangkan secara leksikal. Faktor kedua, bahwa pengungkapan konsep
kala, modalitas, aspek, jenis, jumlah, ingkar, dan pembatas tidak dinyatakan
dengan afiks seperti dalam bahasa-bahasa fleksi, melainkan dinyatakan dengan
unsur leksikal. Dan faktor lainnya adalah keperluan untuk memberi deskripsi
secara terperinci dalam suatu konsep, terutama untuk konsep nomina.
1.8.1.2 KLAUSA
A.
Pengertian Klausa
Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata
berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa
kata atau frase, yang berungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi
sebagai subjek, objek, dan keterangan.
Klausa berpotensi untuk menjadi kalimat tunggal
karena di dalamnya sudah ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek dan predikat.
Frase dan kata juga mempunyai potensi untuk menjadi kalimat kalau kepadanya
diberi intonasi final; tetapi hanya sebagai kalimat minor, bukan kalimat mayor;
sedangkan klausa berpotensi menjadi kalimat mayor.
B.
Jenis Klausa
Berdasarkan strukturnya klausa dibedakan klausa
bebas ( klausa yang
mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subjek dan
predikat; dan mempunyai potensi menjadi kalimat mayor) dan klausa
terikat (klausa
yang unsurnya tidak lengkap, mungkin hanya subjek saja, objek saja, atau
keterangan saja). Klausa terikat diawali dengan konjungsi subordinatif dikenal
dengan klausa subordinatif atau klausa bawahan,
sedangkan klausa lain yang hadir dalam kalimat majemuk disebut klausa
atasan atauklausa utama.
Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi
predikatnya dapat di bedakan: klausa verbal (klausa yang predikatnya berkategori
verba). Sesuai dengan adanya tipe verba, dikenal adanya (1) klausa
transitif (klausa
yang predikatnya berupa verba transitif); (2) klausa intransitif (klausa yang predikatnya berupa verba
intransitif); (3) klausa refleksif (klausa yang predikatnya berupa verba
refleksif); (4) klausa resiprokal (klausa yang predikatnya berupa verba
resiprokal. Klausa nominal (klausa yang predikatnya berupa nomina atau frase
nominal). Klausa ajektifal(klausa
yang predikatnya berkategori ajektifa, baik berupa kata maupun frase). Klausa
adverbial (klausa
yang predikatnya berupa frase yang berkategori preposisi). Klausa
numeral (klausa yang
predikatnya berupa kata atau frase numeralia).
Perlu dicatat juga istilah klausa
berpusat dan klausa tak
berpusat. Klausa berpusat adalah klausa yang subjeknya terikat di
dalam predikatnya, meskipun di tempat lain ada nomina atau frase nomina yang
juga berlaku sebagai subjek.
1.8.1.3 KALIMAT
A.
Pengertian Kalimat
Dengan mengaitkan peran kalimat sebagai alat interaksi
dan kelengkapan pesan atau isi yang akan disampaikan, kalimat didefinisikan
sebagai “ Susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap ”.
Sedangkan dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil
(kata, frase, dan klausa) bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun
dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi
bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.
Sehingga disimpulkan, bahwa yang penting atau yang
menjadi dasar kalimat adalah konstituen dasar dan intonasi final, sedangkan
konjungsi hanya ada kalau diperlukan. Intonasi final yang ada yang memberi ciri
kalimat ada tiga, yaitu intonasi deklaratif, yang dalam bahasa tulis
dilambangkan dengan tanda titik; intonasi interogatif, yang dalam bahasa tulis
dilambangkan dengan tanda tanya; dan intonasi seru, yang dalam bahasa tulis
dilambangkan dengan tanda seru.
B.
Jenis Kalimat
v Kalimat Inti dan
Kalimat Non-Inti
Kalimat inti, biasa juga disebut kalimat dasar, adalah
kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif,
atau netral, dan afirmatif. Misalnya:
FN + FV + FN + FN : Nenek membacakan kakek komik
Ket : FN=Frase Nominal (diisi sebuah kata nominal);
FV=Frase Verbal; FA=Frase Ajektifa; FNum=Frase Numeral; FP=Frase Preposisi.
Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat noninti
dengan berbagai proses transformasi:
KALIMAT INTI + PROSES TRANSFORMASI = KALIMAT
NONINTI
Ket : Proses Transformasi antara lain transformasi
pemasifan, transformasi pengingkaran, transformasi penanyaan, transformasi
pemerintahan, transformasi pengonversian, transformasi pelepasan, transformasi
penambahan.
v
Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu klausa. Sedangkan kalimat
majemuk adalah kalimat
yang terdapat lebih dari satu klausa.
Berkenaan dengan sifat hubungan klausa-klausa dalam
kalimat, dibedakan: (1) kalimat majemuk koordinatif/ kalimat
majemuk setara yaitu
kalimat majemuk yang klausa-klausanya memiliki status yang sama, yang setara,
atau yang sederajat. Secara eksplisit dihubungkan dengan konjungsi koordinatif
dan biasanya unsur yang sama disenyawakan atau dirapatkan sehingga disebut
kalimat majemuk rapatan. (2) Kalimat majemuk subordinatif adalah kalimat majemuk yang hubungan
antara klausa-klausanya tidak setara atau sederajat. Klausa yang satu merupakan
klausa atasan dan yang lain disebut klausa bawahan. Kedua klausa itu
dihubungkan dengan konjungsi subordinatif. Proses terbentuknya kalimat ini
dapat dilihat dari dua sudut bertentangan. Pertama, dipandang sebagai hasil
proses menggabungkan dua buah klausa atau lebih, dimana klausa yang satu
dianggap sebagai klausa atasan dan yang lain disebut klausa bawahan. Pandangan
kedua, konstruksi kalimat subordinatif dianggap sebagai hasil proses perluasan
terhadap salah satu unsur klausanya. (3) Kalimat majemuk kompleks yaitu kalimat majemuk yang terdiri
dari tiga klausa atau lebih, dimana ada yang dihubungkan secara koordinatif dan
ada pula yang dihubungkan secara subordinatif. Jadi, kalimat ini merupakan
campuran dari kalimat majemuk koordinatif dan subordinatif sehingga disebut
juga kalimat majemuk campuran.
v
Kalimat Mayor dan Kalimat Minor
Kalimat mayor mempunyai klausa lengkap, sekurang-kurangnya ada
unsur subjek dan predikat. Sedangkan kalimat minorklausanya
tidak lengkap, entah hanya terdiri subjek saja, predikat saja, objek saja, atau
keterangan saja; konteksnya bisa berupa konteks kalimat, konteks situasi, atau
juga topik pembicaraan.
v
Kalimat Verbal dan Kalimat non-Verbal
Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau
kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase berkategori verba. Sedangkan
kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan kata atau frase verbal;
bisa nominal, ajektifal, adverbial, atau juga numeralia.
Berkenaan dengan banyaknya jenis atau tipe verbal,
biasanya dibedakan: (1) kalimat transitif adalah kalimat yang predikatnya berupa
verba transitif, yaitu verba yang biasanya diikuti oleh sebuah objek kalau
verba tersebut bersifat monotrasitif, dan diikuti oleh dua buah objek kalau
verba tersebut bersifat bitransitif. (2)kalimat
intransitif adalah
kalimat yang predikatnya berupa verba intransitif, yaitu verba yang tidak
memiliki objek. (3) kalimat aktifadalah
kalimat yang predikatnya kata kerja aktif. Verba aktif biasanya ditandai dengan
prefiks me- atau memper- biasanya dipertentangkan degan kalimat pasif yang
ditandai dengan prefiks di- atau diper- . Ada juga istilah kalimat aktif anti
pasif dan kalimat pasif anti aktif sehubungan dengan adanya sejumlah verba
aktif yang tidak dapat dipasifkan dan verba pasif yang tidak dapat dijadikan
verba aktif (4) kalimat dinamis adalah kalimat yang predikatnya berupa
verba yang secara semantis menyatakan tindakan atau gerakan. (5) kalimat
statis adalah kalimat
yang predikatnya berupa verba yang secara semantis tidak menyatakan tindakan
atau kegiatan. (6) kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan
verba.
v
Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat
Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran
lengkap, atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat
atau konteks lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat
terikat adalah kalimat
yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran yang lengkap, atau menjadi
pembuka paragraf atau wacana tanpa bantuan konteks. Biasanya kalimat terikat
menggunakan salah satu tanda ketergantungan, seperti penanda rangkaian,
penunjukan, dan penanda anaforis.
Dari pembicaraan mengenai kalimat terikat, dapat
disimpulkan bahwa sebuah kalimat tidak harus mempunyai struktur fungsi secara
lengkap. Kelengkapan sebuah kalimat serta pemahamannya sangat tergantung pada
konteks dan situasinya.
v
Intonasi Kalimat
Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat
dari sebuah klausa, sebab bisa dikatakan: kalimat minus intonasi sama dengan
klausa; atau kalau dibalik; klausa plus intonasi sama dengan kalimat. Jadi,
kalau intonasi dari sebuah kalimat ditanggalkan maka sisanya yang tinggal
adalah klausa.
Intonasi dapat diuraikan atas ciri-ciri yang berupa
tekanan, tempo, dan nada. Tekanan adalah ciri-ciri suprasegmental yang
menyertai bunyi ujaran. Tempo adalah waktu yang diperlukan
untuk melafalkan suatu arus ujaran. Nada adalah suprasegmental yang diukur
berdasarkan kenyaringan suatu segmen dalam suatu arus ujaran. Dalam bahasa
Indonesia dikenal tiga macam nada, yang
biasa dilambangkan dengan angka “1”, nada sedang
dilambangkan dengan angka “2”, dan nada tinggi
dilambangkan dengan angka“3”.
contoh: Bacálah buku itu !
2 – 32t / 2 11t #
Ket: n=naik; t=turun; tanda - di atas huruf=tekanan
Tekanan yang berbeda menyebabkan intonasinya juga
berbeda; akibatnya keseluruhan kalimat itu pun akan berbeda.
1.8.2 SEMANTIK
A. Semantik Bahasa
Indonesia
Berdasarkan
pendapat para ahli, semantik pada dasarnya merupakan salah satu cabang
linguistik yang mengkaji terjadinya berbagai kemungkinan makna suatu kata dan
pengembangannya seiring dengan terjadinya perubahan dalam masyarakat bahasa.
Aspek – aspek yang di bahas dalam bidang semantik bahasa Indonesia
adalah sebagai berikut.
v
Diksi
Diksi
ialah pilihan kata yang tepat untuk mengungkapkan gagasan sehingga memperoleh
efek tertentu (KBBI, 1997 : 233). Diksi menyangkut kecermatan dan ketelitian
memilih sejumlah kata yang relatif sinonim dalam konteks tertentu sehingga
dapat memberikan kesan yang khusus, estetis, dan tepat. Misalnya
penggunaan kata mati, meninggal dunia, wafat, tewas, mangkat, pulang ke
rahmatullah, mampus, tutup usia, tutup mata.
Kaitannya dengan diksi atau pilihan kata, perlu di pahami dengan baik
tentang perbedaan antara :
a. kata baku dan nonbaku
kata
baku ialah kata yang sesuai kaidah tatabahasa dan nonbaku ialah kata yang tidak
sejalan
standar kaidah bahasa yang tepat.
b. kata abstrak dan konkret
kata
abstrak adalah kata yang tidak mempunyai rujukan/objek yang jelas secara
inderawi,
sedang kata konkret ialah kata yang rujukannya
berupa objek yang dapat diserap pancaindera atau
nyata, misalnya :
Abstrak : kesehatan, keadilan,
dan kecintaan, dan sebagainya.
Konkret : berdiskusi, buku, pesawat
terbang, dan sebagainya.
c. Sinonim, antonim, homonim, homofon, homograf
pengertian
kelima istilah di atas menurut Keraf (1980) dan Tarigan (1986) adalah sebagai
berikut.
(1) Sinonim adalah kata yang tulisan dan
lafalnya berbeda namun maknanya relatif mirip atau sama.
Contoh : Cerdas, pintar, cakap, cerdik, pandai, dan mahir.
(2) Antonim adalah kata yang tulisan dan
ucapannya sama sedang maknanya berlawanan.
Contoh : besar – kecil, tinggi – rendah, dan lain-lain.
(3) Homograf ialah kata yang sama tulisan tetapi
berbeda ucapan dan maknanya.
Contoh : mental (terpelanting)
dengan mEntal (jiwa)
(4) Homofon adalah kata yang relative sama
bunyinya tetapi tulisan dan maknanya berbeda.
Contoh : bang (mobil) dengan bank (BRI)
(5) Homonim adalah kata yang tulisan dan ucapan
sama tetapi maknanya berbeda.
Contoh : bisa (dapat) dengan bisa (racun)
B.
MANFAAT MEMPELEAJARI
SINTAKSIS DAN SEMANTIK
Bagi seorang wartawan,
reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan
pemberitaan :
Mereka akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik,yang dapat memudahkan dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
2. Bagi peneliti bahasa :
Bagi pelajar sastra, pengetahuan semantik akan banyak member bekal teoritis untuk menganalisis bahasa yang sedang dipelajari.
Sedangkan bagi pengajar sastra, pengetahuan semantik akan member manfaat teoritis, maupun praktis. Secara teoritis, teori-teori semantik akan membantu dalam memahami dengan lebih baik bahasa yang akan diajarkannya. Dan manfaat praktisnya adalah kemudahan untuk mengajarkannya.
3. Bagi orang awam :
Pemakaian dasar-dasar semantik tentunya masih diperlukan untuk dapat memahami dunia yang penuh dengan informasi dan lalu-lintas kebahasaan yang terus berkembang.
Semantik Dalam Studi Linguistik
1. Aristoteles (384 – 322 SM)
Kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Yaitu (1) makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom (makna leksikal), dan (2) makna yang hadir akibat proses gramatika (makna gramatikal). (Ullman 1977:3)
2. Plato (429 – 347 SM)
Bunyi-bunyi bahasa secara implicit mengandung makna tertentu.
Memang ada perbedaan pendapat antara Plato dan Aristoteles. Pato mempercayai tentang adanya hubungan berarti antara kata (bunyi-bunyi bahasa) dengan referent-nya. Sedangkan Aristoteles, berpendapat bahwa hubungan antara bentuk dan arti kata adalah soal perjanjian antar pemakainya (Moulton 1976 : 3).
3. C. Chr. Reisig (1825)
Konsep baru mengenai gramatika :
Gramatika terdiri dari tiga unsure utama, yaitu :
a) Semasiologi – studi tentang tanda
b) Sintaksis – studi tentang susunan kalimat
c) Etimologi – studi tentang asal usul kata,perubahan bentuk kata, dan perubahan makna
4. Michel Breal (akhir abad XIX)
Dalam karangannya, Essai de Semantique, telah menggunakan istilah semantik. Dan menyebutnya sebagai suatu bidang ilmu yang baru.
5. Ferdinand de Saussure
Dalam bukunya Cours de Linguistique Generale (1916).
“studi lingustik harus difokuskan pada keberadaan bahasa pada waktu tertentu. Pendekatannya harus sinkronis, dan studinya harus deskriptif”.
De Saussure juga mengajukan konsep signé (tanda) untuk menunjukkan hubungan antara signifié (yang ditandai) dan signifiant (yang menandai).
Signifié adalah makna atau konsep dari signifiant yang berwujud bunyi-bunyi bahasa.
Signifié dan signifiant sebagai signé linguistique adalah satu kesatuan yang merujukpada satu referent. Yaitu sesuatu, berupa benda atau hal yang dikuar bahasa
Mereka akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik,yang dapat memudahkan dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
2. Bagi peneliti bahasa :
Bagi pelajar sastra, pengetahuan semantik akan banyak member bekal teoritis untuk menganalisis bahasa yang sedang dipelajari.
Sedangkan bagi pengajar sastra, pengetahuan semantik akan member manfaat teoritis, maupun praktis. Secara teoritis, teori-teori semantik akan membantu dalam memahami dengan lebih baik bahasa yang akan diajarkannya. Dan manfaat praktisnya adalah kemudahan untuk mengajarkannya.
3. Bagi orang awam :
Pemakaian dasar-dasar semantik tentunya masih diperlukan untuk dapat memahami dunia yang penuh dengan informasi dan lalu-lintas kebahasaan yang terus berkembang.
Semantik Dalam Studi Linguistik
1. Aristoteles (384 – 322 SM)
Kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Yaitu (1) makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom (makna leksikal), dan (2) makna yang hadir akibat proses gramatika (makna gramatikal). (Ullman 1977:3)
2. Plato (429 – 347 SM)
Bunyi-bunyi bahasa secara implicit mengandung makna tertentu.
Memang ada perbedaan pendapat antara Plato dan Aristoteles. Pato mempercayai tentang adanya hubungan berarti antara kata (bunyi-bunyi bahasa) dengan referent-nya. Sedangkan Aristoteles, berpendapat bahwa hubungan antara bentuk dan arti kata adalah soal perjanjian antar pemakainya (Moulton 1976 : 3).
3. C. Chr. Reisig (1825)
Konsep baru mengenai gramatika :
Gramatika terdiri dari tiga unsure utama, yaitu :
a) Semasiologi – studi tentang tanda
b) Sintaksis – studi tentang susunan kalimat
c) Etimologi – studi tentang asal usul kata,perubahan bentuk kata, dan perubahan makna
4. Michel Breal (akhir abad XIX)
Dalam karangannya, Essai de Semantique, telah menggunakan istilah semantik. Dan menyebutnya sebagai suatu bidang ilmu yang baru.
5. Ferdinand de Saussure
Dalam bukunya Cours de Linguistique Generale (1916).
“studi lingustik harus difokuskan pada keberadaan bahasa pada waktu tertentu. Pendekatannya harus sinkronis, dan studinya harus deskriptif”.
De Saussure juga mengajukan konsep signé (tanda) untuk menunjukkan hubungan antara signifié (yang ditandai) dan signifiant (yang menandai).
Signifié adalah makna atau konsep dari signifiant yang berwujud bunyi-bunyi bahasa.
Signifié dan signifiant sebagai signé linguistique adalah satu kesatuan yang merujukpada satu referent. Yaitu sesuatu, berupa benda atau hal yang dikuar bahasa
1.9 TATARAN LINGUISTIK SEMANTIK
Dalam berbagai kesempatan
semantik disebutkan sebagai bidang studi linguistik yang obyek penelitiannya
makna bahasa,semantik juga merupakan satu tataran linguistik,kalau istilah ini
tetap dipakai harus diingat bahwa status tataran semantik dengan tataran
fonologi,morfologi dan sintaksis adalah tidak sama,sebab secara hierarkial
satuan bahasa disebut wacana.Chomsky,bapak linguistik transformasi dalam
bukunya yang ke-2 menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari
tata bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi) dan makna kalimat
sangat ditentukan oleh komponen semantik ini.
A.
Medan makna dan komponen makna
Kata yang berada dalam satu kelompok lazim
dinamai kata-kata yang berbeda dalam satu medan makna atau satu medan leksikal.
Medan makna adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya
saling berhubungan.
Misalnya : nama-nama
warna, perabot rumah tangga
Komponen makna, mkasudnya makna setiap kata
terdiri dari sebuah komponen yang membentuk keseluruhan makna itu.
Contohnya : kata ayah memiliki komponen kata
manusia, dewasa, jantan, kawin, dan punya anak.
1..10 SEMANTIK/PRAGMATIK DAN PEMBELAJARAN BAHASA
INDONESIA DI SEKOLAH
1.10.1 Pengertian
Semantik dan Pragmatik
Kata semantik sebenarnya merupakan istilah
teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah ini merupakan istilah
baru dalam bahasa Inggris. Para ahli bahasa memberikan pengertian semantik
sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda
linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna).
Pragmatik ialah
cabang ilmu linguistik yang mengkaji hal-hal yang merangkumistruktur bahasa sebagai alat perhubungan
sama ada antara penutur dan pendengaratau penulis dan pembaca. Di samping itu,
sebagai pengacuan simbol-simbolbahasa pada hal-hal ekstralingual.Menurut Hashim
Musa dan Ong Chin Guan (1998: 81).
1.10.2 Hubungan
Semantik dan pragmatik
Semantik
dan pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu yang dipelajari dalam studi
linguistik. Dalam semantik kita mengenal yang disebut klasifikasi makna, relasi
makna, perubahan makna, analisis makna, dan makna pemakaian bahasa. Sedangkan
dalam pragmatik kita mengenal yang disebut interaksi dan sopan santun,
implikatur percakapan, pertuturan, referensi dan inferensi serta deiksis.
1.10.3 Semantik
dan pragmatik dalam pembelajaran bahasa Indonesia disekolah
Pragmatik sebagaimana yang diperbincangkan di
indonesia dewasa ini paling tidak dapat dibedakan atas dua hal sebagai berikut:
“(1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan atau (2) pragmatik sebagai
sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar”. pragmatik sebagai sesuatu yang
diajarkan masih dapat dibedakan lagi atas: “(1) pragmatik sebagai bidang kajian
linguistik, dan (2) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa”.
Pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa lazim pula disebut “fungsi
komunikatif”.
Pragmatik
sebagai sesuatu yang diajarkan dapat pula disebut “mengajar pragmatik” atau
mengajar tentang bahasa yang salah satu bidangnya adalah
pragmatik. Sebagai bahan yang disajikan di dalam kelas, pragmatik itu sejajar
dengan mata kuliah lain, seperti sintaksis dan semantik. Kelas seperti itu
adalah kelas tempat belajar tentang bahasa, bukan belajar
bahasa.
Pragmatik
sebagai “fungsi komunikatif” biasanya disajikan di dalam pengajaran bahasa
asing. Setiap bahasa memiliki sejumlah fungsi komunikatif, dan di dalam fungsi
komunikatif itu terdapat tujuan-tujuan seperti “menyatakan rasa puas/tidak
puas”, “menyatakan setuju/tidak setuju”, dan “menyampaikan ucapan salam atau
selamat”. Menurut Bambang (1990: 3), “utaraan-utaraan seperti inilah yang
dijabarkan sebagai ‘pokok bahasan’ pragmatik di dalam kurikulum 1984 untuk
pengajaran bahasa indonesia”.
1.10.4 Fungsi
Semantik dan pragmatik di dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Dalam pengajaran bahasa,
seperti diungkapkan Gunarwan (2004:22) (dalam Quinz 2008) terdapat keterkaitan,
yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh
pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa
menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya,
pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam
bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang
digunakan harus baik. Seperti
diungkapkan juga oleh Kridalaksana (2007:3) bahwa bahasa ialah sistem tanda
bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat
tertentu dalam bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Dari
pengertian tersebut dapat dijabarkan bahwa bahasa merupakan suatu sistem yang
sistematis, artinya bahasa dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang
terkombinasi dengan kaidah-kaidah yang dapat diramalkan.
1.11 Penerapan semantik untuk menguji bahasa
indonesia di sekokah